Titik Terbaik Takdir Part 09

 



Karya: Nida


"Assalamualaikum," sapa Hawa saat sudah berada di ruang kepala sekolah. 


"Waalaikumsalam, kamu Hawa ya?" tanya Pak kepala sekolah.


Hawa mengangguk singkat. "Iya pak saya Hawa."


"Gini nak, kami selaku pihak sekolah akan mendaftarkan kamu lomba olimpiade tingkat nasional dengan teman kamu yang lainnya, mulai sekarang kamu dengan yang lainnya akan di bimbing oleh Bu Sonia untuk lomba nanti, kamu mau kan?" tanya Pak kepala sekolah.


"Iya pak, insha Allah saya siap," jawab Hawa.


"Alhamdulillah, baiklah kamu bisa keruangan sebelah, bu Sonia sudah menunggu kamu," ucap Pak kepala sekolah.


"Baik pak, assalamualaikum."


"Waalaikumsalam."


Setelah berpamitan dengan Pak kepala sekolah, Hawa pun segera pergi keruangan yang di maksud pak kepala sekolah tadi, di sana ia disambut hangat oleh Bu Sonia.


"Ayo duduk Hawa," ucap Bu Sonia.


Hawa menangkap sosok pemuda yang sangat ia kenal, kacamata berteger di hidung mancungnya, pemuda itu tengah sibuk membaca buku pelajarannya.


"Arsya?" 


Arsya yang merasa dirinya dipanggil lantas langsung menoleh kearah Hawa, pemuda berwajah datar itu tiba-tiba tersenyum tipis kearah Hawa.


"Lo ikut olimpiade juga?" tanya Arsya.


"Iya, kamu juga?" tanya balik Hawa.


Arysa mengangguk. "Berarti kita satu tim."


"Kalian duduk dulu ya, ada satu siswa lagi yang akan satu tim dengan kalian," ucap Bu Sonia.


"Maaf bu saya telat!" Azka tiba-tiba datang membuat semua mata tertuju kepadanya.


"Kamu habis darima Azka? Kenapa baju kamu urak-urakan seperti ini?" tanya Bu Sonia.


"Habis berantem bu sama kucing," jawab Azka asal-asalan, padahal ia baru saja membuly seseorang.


Bu Sonia menghela nafas panjang. "Baiklah kamu duduk di samping Hawa, latihan akan segera dimulai," ucap Bu Sonia.


Azka berjalan sembari menatap Hawa yang juga sedang menatap dirinya, senyum miring tercipta di kedua sudut bibir Azka, entah kenapa takdir selalu mempersatukan dirinya dengan Hawa.


•••


"Wih, yang mau ikut lomba cuy!" Galang bersorak senang.


"Hahaha seharusnya tuh ya, si Kenzo yang pantas mah, si Kenzo kan pinter si juara tiga terus di kelas, kenapa si Hawa ya yang baru kemarin sore datang ke sekolah ini yang jadi perwakilan lomba?" ucap Zany yang merasa heran sedangkan Kenzo hanya diam tanpa suara.


"Hati-hati bro, posisi lo digantikan sama Hawa," ucap Alan sembari terkekeh geli diakhir kalimatnya.


"Gue pulang duluan," Kenzo tiba-tiba menyalakan mesin motornya lalu segera keluar dari kawasan sekolah.


"Lah si Kenzo kenapa dah? Dia nggak mau ke markas dulu gitu?" tanya Zany.


"Belajarlah dia mah, kayak lo nggak tau aja bokapnya kayak gimana kalau nilai dia nurun," ucap Galang.


"Kita markas," ucap Azka.


"Lo nggak belajar buat lomba olimpiade lo?" tanya Alan.


"Dih males!" jawab Azka.


•••


Suasana di SMA Angkasa sudah sangat sepi hanya terdapat segelintir siswa-siswi yang masih disana yang mengikuti ekskul sekolah. Seperti Arsya, saat ini pemuda itu juga belum pulang dari sekolah karena banyak hal yang harus ia kerjakan untuk kegiatan ulang tahun sekolah yang akan dilaksanakan dua Minggu lagi, untungnya Aslan selaku wakilnya sangat sigap membantu dirinya saat ia sedang ada kegiatan lain.


Hawa berjalan sendiri melewati koridor sekolah, kenapa ia telat pulang sekolah? Karena tadi ia sibuk mencari buku-buku yang akan ia pelajari untuk olimpiade nanti. Ia tidak mau mengecewakan pihak sekolah yang sudah memberikan ia amanah, jadi ia harus bekerja keras untuk menang.


"Gue pasti bisa, Ar jadi sekertaris OSIS lo percaya sama gue. Saat ini lo fokus aja sama olimpiade lo itu, kegiatan acara ulang tahun sekolah biar gue yang urus," ucap Aslan.


"Nggak bisa gitu, As. Kita harus merekrut sekertaris baru, lo bakal capek kalau semuanya lo yang kerjain," ucap Arsya.


Ucapan dari dua makhluk itu tak sengaja Hawa dengar, tanpa pikir panjang Hawa pun masuk kedalam ruangan yang bertuliskan Ruang OSIS.


"Aku bisa bantu kalian," ucap Hawa.


Arsya dan Aslan pun lantas langsung menoleh kearah Hawa yang sedang berjalan menuju mereka.


"Maksud lo?" tanya Arsya.


"Maaf, tadi aku nggak sengaja denger omongan kalian. Kalian saat ini butuh sekertaris kan? Aku bisa kok jadi sekertaris, insha Allah amanah!" ucap Hawa.


"Lo yakin bisa?" tanya Arsya.


Hawa mengangguk mantap. "Iya aku bisa, dulu di pesantren aku sering membuat proposal acara," ucap Hawa.


"Oke, kalau lo bisa, besok setelah latihan olimpiade lo keruangan OSIS," ucap Arsya, yang dibalas anggukan singkat oleh Hawa.


"Kalau gitu aku pamit pulang," ucap Hawa.


"Lo pulang sama siapa?" tanya Arsya.


"Di jemput kakak, dia udah nunggu di depan gerbang sekolah." Jawab Hawa.


"Hati-hati."


Hawa mengangguk. "Assalamualaikum."


"Waalaikumsalam."


Arsya tersenyum tipis memandang punggung Hawa yang kian menghilang dari pandangannya. Aslan yang menyadari jika Arsya mempunyai rasa dengan Hawa, buktinya saat ini Arsya tersenyum saat melihat Hawa. Hayolah, membuat seorang Arsya tersenyum itu sangat sulit!


"Ekhem! Godhul bashor mas!" Sindir Aslan, refleks membuyarkan lamunan Arsya.


"Cie, lagi jatuh cinta ya?" Ledek Aslan.


"Gue pulang duluan, lo jangan lupa kunci ruangan OSIS, assalamualaikum." Pamit Arsya.


"Waalaikumsalam."


•••


"


Assalamualaikum Bunda!" Teriak Arsya, ia mencari bundanya di dapur namun tak ada.


"Bundaaa?" 


"Bundaaa?"


Arsya pergi menuju halaman belakang, biasanya Bundanya suka sekali duduk di halaman belakang karena hawanya yang sejuk.


Senyum Arsya bertambah lebar saat mendapati bundanya yang sedang menyiram bunga, dengan cepat Asrya langsung memeluk pinggang bundanya dari arah belakang.


"Ya ampun anak Bunda ini kenapa hobi banget kagetin sih?" ucap Wardah sembari mengelus wajah Arsya.


"Arsya laper bunda," ucap Arsya layaknya seorang anak kecil yang ingin diberi makan.


Wardah terkekeh geli mendengarnya. "Emangnya kamu nggak makan di sekolah?" tanya Wardah.


"Nggak! Tadi disekolah Arsya sibuk banget sama kegiatan sekolah, bunda kan tau Arsya itu anak populer dan pinter," ucap Arsya sembari terkekeh pelan.


"Anak bunda kenapa pede banget sih?"


"Ekhem! Ngapain kamu meluk-meluk Bunda, hah?!" Suara bariton itu membuat Arsya langsung mengeratkan pelukannya kepada Wardah.


"Emang kenapa? Emang bunda punya ayah doang? Punya Arsya juga lah!" ucap Arsya.


Wardah memegangi kepalanya, siap-siap saja menunggu ayah dengan anak itu bertengkar memperebutkan dirinya.


"Dasar anak Sholeh kamu ya! Bunda kamu ini milik ayah, udah sana kamu main keluar!" ucap Khalid, merain tangan Wardah. Tuhkan benar kata Wardah mereka bertengkar kembali.


"Nggak boleh! Ayah kan udah sering tidur sama bunda, siang ini Bunda milik Arsya lah!" ucap Arsya ngotot.


Kesabaran Khalid sudah habis, ia menjewer telinga Arsya membuat sang empu meringis kesakitan, mau tak mau Arsya segera melepaskan pelukannya itu.


"Dasar Ayah posesif! Masa sama anaknya sendiri cemburu sih!" Ledek Arsya.


"Hust, hust sana! Jangan ganggu Ayah dengan Bunda kamu!" Usir Khalid layaknya seperti mengusir kucing.


"Iya dah ngalah sama yang tuaan!" ucap Arsya sembari berlari menjauh dari Ayahnya sebelum ayahnya kembali menjewernya kembali.


Khalid mengelus dadanya. "Punya anak satu buat naik darah mulu dah!" Keluhnya.


Wardah mencubit gemas pipi Khalid. "Kamunya yang cemburuan banget!"


"Ih bukan cemburu tapi aku nggak mau berbagi sama anak tengil itu!" Elak Khalid.


"Eh, anak kita itu!"


"Eh iya, astagfirullah." 


Arsya masuk kedalam kamarnya, ia membaringkan tubuhnya di ranjang kasurnya. Ya, itulah dirinya, siapa sangka jika seorang Arkana Arsya El-Fatan adalah seorang yang manja di keluarganya, baginya hanya keluarganya lah yang membuat ia tersenyum lepas seperti ini, sebelum kejadian 10 tahun yang lalu terjadi.

Posting Komentar

0 Komentar