Karya:Aldy Istanzia Wiguna
Dalam perjalanan awalnya, Persatuan Islam bergerak di seputaran kota Bandung dengan mengadakan beragam agenda pengajian, perdebatan, serta diskusi-diskusi ilmiah yang biasa dilakukan para anggotanya dengan bahasan utama terkait persoalan bid’ah, khurafat, dan takhayul yang saat itu masih akrab dengan mayoritas masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat. Awalnya, pemantik diskusi-diskusi ilmiah ini adalah Haji Zamzam dan Haji Yunus sang pendiri langsung. Baru pada tahun 1926, ketika A Hassan menjadi bagian dari Persatuan Islam, pengajian dan diskusi pun mulai terlihat hangat dan memperlihatkan karakteristik Persatuan Islam sebagai salah satu organisasi reformis Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Sarekat Islam. Meski kehadiran Persatuan Islam dianggap terlambat oleh Howard M Federspiel dalam bukunya Labirin Ideologi Muslim, tapi Persatuan Islam tetap mengeluarkan tajinya dalam pentas pemikiran Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya publikasi baik berupa majalah, booklet, buku serta sejumlah perdebatan yang turut mewarnai keberagaman pemikiran Persatuan Islam. Lantas, bagaimanakah kiprah Persatuan Islam dalam khazanah literatur pemikiran Islam di Indonesia? Bagaimana pula aktivitas intelektual kadernya dalam merespon beragam gerakan serta pemikiran yang bertumbuh bersama di masa-masa awal kelahirannya? Serta seperti apa pula jejak khazanah pemikiran Persatuan Islam yang dihadirkan para pengasas dan guru-guru utama Persatuan Islam di masa-masa awal kelahirannya.
Kehadiran Persatuan Islam dalam peta pemikiran Islam di Indonesia mulai mengeluarkan geliatnya ketika di tahun 1926 kedatangan seorang intelektual kelahiran Singapura bernama Ahmad Hassan. Sosok intelektual mumpuni yang pada mula kedatangannya ke Bandung untuk belajar dan mendirikan pabrik tenun di daerah Majalaya ini, kemudian menjadi pusat pergerakan serta gagasan Persatuan Islam dalam menuntaskan persoalan-persoalan umat yang saat itu hangat diperbincangkan. Pada waktu itu pula, kajian-kajian yang biasa dilakoni Haji Zamzam mulai diambil alih oleh Ahmad Hassan yang pada mulanya hanya mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi dan kajian di rumah Haji Zamzam dan Haji Yunus. A Hasaan yang waktu itu menginap di rumah Haji Yunus pun pada akhirnya mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi diri dan daya intelektualnya hingga kemudian di tangannya lah Persatuan Islam dapat memberikan kontribusi penting dalam peta pemikiran Islam di bumi pertiwi.
Kajian-kajian ilmiah yang pada awalnya hanya diselenggarakan di rumah Haji Zamzam kini mulai mendapatkan respon dari berbagai pihak. Kajian-kajian tersebut kemudian melebar menjadi satu jaringan utuh tentang bagaimana kemudian dakwah Qur’an Sunnah ala Persatuan Islam disambut cukup hangat masyarakat kota Bandung pada saat itu. Tak hanya melalui kajian-kajian ilmiah, perdebatan-perdebatan pun mulai sering dilakukan Persatuan Islam melalui A Hassan sebagai salah satu pioneer-nya. Tercatat beberapa kali Persatuan Islam sempat melakukan perdebatan baik secara langsung maupun melalui tulisan. Mulai dari perdebatan dengan Ahmadiyyah, kalangan atheis, Nahdlatul Ulama hingga perdebatan-perdebatan di media massa baik yang digawangi A Hassan maupun murid-muridnya seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary.
Selain melalui kajian dan perdebatan, dakwah Persatuan Islam pun mulai melebar hingga menyentuh ranah publikasi baik melalui media massa, buku-buku, booklet dan pamflet. Hal ini terbukti dengan lahirnya beberapa media massa legendaris seperti Pembela Islam, Al-Lisaan, At-Taqwa, Al-Fatwa, Al-Balagh, Iber, Risalah, dan sejumlah media massa lainnya baik yang diterbitkan oleh otonom seperti Berita Persistri (Akhbar Persistri), Tabayun, serta Hayatuna. Tak hanya media-media massa saja, dakwah Persis melalui tulisan-tulisan para ulamanya pun turut serta memberikan kontribusi penting dalam peta dakwah Islam di Indonesia. Ambil contoh karya-karya A Hassan seperti Pengajaran Shalat, Soal Jawab, Tafsir Al-Furqan, Adakah Tuhan, Jilbab, serta sederet karya lainnya yang menjadi rujukan orang-orang di masa itu. Belum lagi karya-karya Isa Anshary seperti Mujahid Dakwah, Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum, Islam dan Demokrasi, Barat dan Timur, Revolusi Islam, Renungan 40 Tahun Persis, Islam Menentang Komunisme. Atau karya-karya Mohammad Natsir seperti Capita Selecta, Fiqhud Dakwah, Mempersatukan Umat, Agama dan Negara, Kebudayaan Islam dan sederet karya lainnya yang luar biasa. Juga E Abdurrahman dengan karya-karyanya seperti Recik-Recik Dakwah, Renungan Tarikh, Al-Ibroh, Djihad dan Qital, Perbandingan Mazhab, Risalah Wanita, serta sejumlah karya asatidz lainnya yang kehadirannya turut memberi warna serta kontribusi penting dalam pemikiran-pemikiran Islam di republik ini.
Hal ini kemudian menjadi satu penanda sederhana bahwasannya Persatuan Islam memang hadir sebagai bagian dari penyelesaian beragam permasalahan umat. Hanya saja, akhir-akhir ini kita menyaksikan seolah perjalanan kultur intelektual Persatuan Islam mengalami sedikit penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas. Padahal pada masa-masa awal serta emasnya kontribusi pemikiran Persatuan Islam serta jejak-jejaknya sangat memberi arti terhadap kehadiran Persatuan Islam sebagai bagian dari jawaban sederhana untuk menyelesaikan beragam problematika umat saat itu.
Sebuah pekerjaan rumah yang cukup besar untuk kemudian sama-sama kita renungkan dan hadirkan jalan keluarnya. Tentu, kita akan merasa cemburu berat kepada Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah yang memiliki perpustakaan serta jaringan penerbitan yang cukup lengkap dan mendominasi pemikiran-pemikiran bagi warga anggotanya. Atau kehadiran museum-museum yang dikelola oleh kedua ormas tersebut untuk tetap mengawal generasi pelanjutnya agar tidak kehilangan arah. Maka, sudah menjadi tugas kolektif dari seluruh komponen jam’iyyah ini untuk bisa menghadirkan apa yang seharusnya dihadirkan. Saya jadi teringat, pesan sederhana allahu yarham ustadz Shiddiq Amien saat melepas santri-santrinya di Pesantren Persis Benda beberapa tahun silam. Dalam pesannya tersebut, beliau menyampaikan bahwasannya tugas kolektif dakwah di Persis ini harus dibagi sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing. Kalau ada yang berdakwah di bidang ekonomi, haruslah ada ulamanya, begitu pula dakwah di bidang-bidang lainnya. Maka kehadiran lengkap ragam khazanah ini diharapkan dapat menjadi pendorong serta penguat agar kelak generasi pelanjut dakwah Persatuan Islam ini bisa berperan menyebarkan dakwah Qur’an Sunnah Persatuan Islam sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Wallahu a’lam bish shawab.****
Penulis merupakan anggota PC Pemuda Persis Ciparay yang saat ini diamanahi sebagai sekretaris PC Pemuda Persis Ciparay juga ketua Pesantren Sastra, sebuah lembaga kebudayaan yang berada di bawah naungan Lembaga Kajian Turats dan Pemikiran Islam PP Pemuda Persis. Sehari-hari beraktivitas di Pesantren Persis 20 Ciparay sebagai guru mata pelajaran bahasa Indonesia dan saat ini tengah mengelola perpustakaan sederhana yang diberi nama Pusaka Pustaka.
0 Komentar