Gambar: Profim
Karya: Aldy Istanzia Wiguna
Salah satu warisannya yang sampai hari ini masih dikenang dan dicari oleh anggota, simpatisan bahkan kader Persatuan Islam adalah majalah Iber, salah satu dari dua majalah berbahasa Sunda yang digawanginya selain majalah At-Taqwa yang dilahirkan bersama sang kakak KH. E Abdurrahman. Majalah ini termasuk majalah berusia tua di lingkungan jam’iyyah Persatuan Islam selain majalah Risalah yang sampai hari ini masih eksis terbit. Majalah ini dilahirkan atas prakarsa ustadz E Abdullah untuk memenuhi keinginan warga jam’iyyah Persatuan Islam yang tinggal di Jawa Barat. Selain dikarenakan kerinduan terhadap majalah Al-Fatawa yang dibidaninya di masa-masa awal pergerakan Persatuan Islam bersama sang kakak, juga sebagai bentuk khidmat serta pemeliharaan bahasa daerah hingga kemudian dilahirkanlah majalah Iber ini melalui Pimpinan Daerah Persis Kota Bandung hingga berlanjut ke Pimpinan Wilayah Persis Jawa Barat, sampai kemudian majalah ini mati suri dan menurut beberapa kabar, majalah ini akan terbit kembali dalam bentuk yang lebih baik.
Lantas bagaimanakah hayat dan perjuangan KH E Abdullah dalam menopang dakwah Persatuan Islam melalui majalah Iber-nya? Bagaimana pula perjalanan hidupnya dan spirit dakwahnya? Juga seperti apa pandangan murid-murid beliau terhadap hayat dan kiprah dakwah sepanjang hidupnya?
Beliau mengawali masa pendidikan dasar dan tsanawiyyah di Pesantren Al-Ianah, Cianjur dan lulus pada tahun 1931. Pada tahun itu pula, beliau langsung diminta mengajar di tempat beliau belajar. Lalu, pada tahun 1932 beliau menjadi salah seorang guru swasta di Depok dan Bogor. Di Depok, beliau mengajar di Madrasah Islamiyah yang dipimpin oleh Ustadz Shogir. Madrasah tersebut terletak di sebuah daerah perkampungan yang asri dipenuhi dengan pohon bambu serta durian. Daerah tempatnya tinggal kala itu masih dipenuhi dengan nuansa-nuansa bid’ah, khurafat bahkan takhayul. Bahasa sehari-hari yang digunakan beliau ketika tinggal di daerah tersebut adalah bahasa Melayu Depok.
Setelah mengembara di Depok, beliau kembali ke Bandung dan ikut mengajar di madrasah Al-Ianah cabang Bandung mengikuti KH E Abdurrahman, sang kakak yang telah terlebih dahulu mengajar di pesantren tersebut. Saat itu, KH E Abdurrahman disebut-sebut sebagai anak emas dari Tuan Al-Katiri, salah seorang saudagar kaya yang menyewakan rumah dan turut mendirikan sekolah MPDI (Majelis Pendidikan Darul Islam). Selama mengajar di MPDI Al-Ianah, beliau dan ustadz E Abdurrahman dikenalkan oleh bapak Ilyas kepada tokoh-tokoh Persatuan Islam yang saat itu Persis dikenal asing dan sering dituduh sebagai agama baru hingga banyak yang membencinya.
Pada masa revolusi, KH E Abdullah turut serta berjuang dan berperang mengusir penjajah. Ia tercatat sebagai sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan pangkat Letnan Dua (Letda). Menjelang kemerdekaan republik Indonesia, beliau mengungsi ke daerah Pameungpeuk, Bandung. Di sana, beliau menyelenggarakan pendidikan agama bagi orang dewasa dan anak-anak. Ketika beliau memutuskan kembali ke Bandung, banyak murid-muridnya yang mengikuti beliau ke Bandung. Beliau pun berpesan kepada murid-muridnya yang hendak mengikuti beliau ke Bandung sebagaimana yang dituturkan beliau kepada KH Akhyar Syuhada, salah satu muridnya. Beliau berujar, lamun hayang neruskeun diajar, tuturkeun ana ka Bandung (kalau mau melanjutkan belajar, ikuti saya ke Bandung).
Pada tahun 1943, beliau mengajar di Pesantren Persatuan Islam Bandung. Ketika itu, sebelum pesantren tersebut dipindah ke Bangil (Pesantren Besar) dan ke Bandung (Pesantren Kecil), beliau mengajar bersama KH E Abdurrahman (kakak beliau), KH Qomaruddin Shaleh, KH Rusyad Nurdin, dan KH I Sudibya.
Beliau menikah saat usia 23 tahun dengan Lyena Qomariyyah pada tanggal 31 Desember 1943. Selain itu, pada masa revolusi beliau turut aktif pula di pasukan Sabilillah, yang saat itu dipimpin oleh KH Isa Anshari. Jabatan beliau di Sabilillah pada saat itu sebagai polisi rahasia (intelijen). Selepas aktif di pasukan Sabilillah, beliau juga turut aktif di Hizbullah yang dipimpin Muhammad Syah. Saat itu beliau diamanahi sebagai Kepala Penerangan Hizbullah atau Resimen. Baru di tahun 1947, beliau kembali mengajar di Pesantren Persatuan Islam di Jalan Pangeran Sumedang (sekarang Jalan Otto Iskandar Dinata), lalu di tahun 1953, beliau menjadi guru SR di Pendidikan Agama Provinsi Jawa Barat sampai pada tahun 1956 dikarenakan alasan kesibukan dan banyaknya tugas yang diemban beliau sendiri. Selain itu, beliau kembali mengungsi ke Pameungpeuk dan ke Gunung Cupu, lalu kembali ke Pameungpeuk untuk mengajar anak-anak dan orang dewasa di daerah tersebut.
Baru pada tahun 1958, beliau memutuskan untuk keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan pangkat Letda II. Alasan beliau keluar dari kesatuannya tersebut, dikarenakan ingin mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan khususnya di lingkungan jam’iyyah Persatuan Islam atau lebih tepatnya di Pesantren Persatuan Islam Pajagalan. Selain itu di tahun 1962, beliau sempat menjadi dosen bahasa Arab di Perguruan Tinggi Islam (PTI) atau yang sekarang dkenal sebagai Universitas Islam Bandung (UNISBA) sampai tahun 1965. Beliau pun sempat ditawari untuk mengajar di tingkat pasca sarjana tepatnya di tingkat doktoral pada tahun 1983, namun ditolaknya karena berkeinginan memfokuskan diri pada Pesantren Persis Pajagalan.
Di Muktamar Persatuan Islam ke VII yang berlangsung di Pesantren Persis Bangil, beliau mendapatkan amanah sebagai Bidang Garapan Pendidikan. Salah satu fokus beliau saat menjabat posisi tersebut adalah menghadirkan gagasan-gagasan terbaiknya dalam bentuk buku-buku paket untuk santri-santri Persis di tingkat ibtidaiyyah dan tsanawiyyah. Buku-buku karangan beliau yang menjadi bahan ajar atau buku paket santri tersebut sampai hari ini masih digunakan dan dijadikan pegangan baik oleh asatidz-asatidzah maupun santri-santri di lingkungan Pesantren Persatuan Islam. Selain mengarang dan mengajar, beliau juga sering bertindak sebagai muballigh dan khatib. Kegiatan tablighnya sangat padat, hampir tiada malam tanpa pengajian. Pengajiannya tidak hanya di Bandung dan sekitarnya, tetapi meliputi daerah-daerah di Jawa Barat. Misalnya, setiap malam Jum’at ke empat di setiap bulannya, beliau tercatat rutin bertabligh di Cianjur. Di dalam setiap pengajiannya, beliau tak lupa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mustami’ yang berhubungan berbagai masalah keagamaan dan keumatan.
Salah satu fokus beliau saat itu adalah mengkader para dai muda Persatuan Islam melalui Tamhidul Muballighin, sebuah lembaga pengkaderan, pendidikan, dan pelatihan calon dai serta muballigh Persatuan Islam. Di forum tersebut, diajarkan materi-materi seperti ilmu tabligh dan ilmu perbandingan agama serta bahasa Arab. Dan tentu, hasil dari pengkaderan, pelatihan dan pendidikan di Tamhidul Muballighin ini cukup menggembirakan dan mengagumkan. Salah satunya adalah para dai dan muballigh yang dikader di lembaga yang didirikan beliau semasa beliau aktif sebagai Bidang Garapan Pendidikan PP Persis ini ialah keberanian para dai dan muballigh dalam memberantas bid’ah, khurafat dan takhayul yang saat itu masih marak terjadi di lingkungan masyarakat. Selain itu, pengajian-pengajian pun semakin semarak bahkan diselenggarakan hampir di setiap jenjang mulai dari pimpinan pusat hingga pimpinan-pimpinan jama’ah. Hingga sampai sekarang, kegiatan-kegiatan pengajian dengan asatidz-asatidzah dari Tamhidul Muballighin masih terus berlangsung dan bisa dirasakan manfaatnya oleh umat.
Beliau pun turut mendirikan Pondok Fityaanul Qur’an, yaitu pondok khusus bagi santri putera di pesantren. Di pondok ini diajarkan beberapa pelajaran ekstra seperti tafsir Qur’an dan hadits, bahasa Arab yang biasa diberikan setiap subuh, dan latihan tabligh memakai bahasa Indonesia atau Arab setiap seminggu dua kali. Kini, para santrinya telah tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Umumnya mereka mengajar di madrasah-madrasah dan pesantren tempat tinggal atau ditempatkan di daerah-daerah yang membutuhkan mudarris atau mubaligh. Pada tahun 1976 beliau sakit keras, namun hal itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengajar. Pada waktu itu beliau memanggil sebagian santrinya, disuruhnya para santri itu membawa buku pelajaran dan beliau mengajar sambil berbaring di rumah sakit.
Sepeninggal KH E Abdurrahman sang kakak di tahun 1983, beliau kemudian diamanahi menjadi mudirul am Pesantren Persis Pajagalan dan sebagai ketua Dewan Hisbah PP Persis yang beranggotakan para santrinya yang sudah mengajar di pesantren-pesantren. Beliau pula turut mengasuh rubrik Istifta di majalah Risalah dan sampai akhir hayatnya beliau tercatat sebagai pembantu ahli di majalah tersebut. Sekitar tahun 1986, kondisi kesehatanya semakin lemah dan sering udzur seingga beliau melimpahkan tugasnya kepada beberapa murid yang beliau percaya. Bahkan di muktamar Persis X tahun 1990 yang berlangsung di Garut, Jawa Barat beliau mendapatkan amanah sebagai penasehat Dewan Hisbah. Namun semenjak saat itu, sakit beliau semakin parah. Penulis buku Rasiah Sabar ini benar-benar diuji kesabarannya. Hingga beliau benar-benar lulus dari ujian kesabarannya tersebut. Samppai akhirnya, Allah memanggil beliau ke hadirat-Nya pada hari Senin tanggal 09 Rajab 1415 H yang bertepatan denan 12 Desember 1994 M pada pukul 21.10 WIB. Kemudian beliau dikebumikan di Cijeungjing, Bojong Soang tepatnya di pemakaman keluarga KH Yahya Wardi dengan diantar ribuan murid-muridnya yang tersebar di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Majalah Iber sebagai majalah dakwah berbahasa Sunda pertama kali diterbitkan oleh Pimpinan Cabang Persis Kota Bandung pada bulan Agustus tahun 1967 yang dipelopori oleh KH E Abdullah. Ustadz Emon Sastranegara memberikan penjelasan bahwa Iber berarti berita atau pemberitahuan. Iber hanya memberitakan yang benar, utamanya berita dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai media dakwah, Iber memiliki visi yang dapat dilihat dengan mudah dari cover depan, dengan huruf kecil, yang berbunyi: “Siaran Persatuan Islam Majalah Dakwah Bahasa Sunda” dengan jargon “Basana Moal Basi”.
Siaran Persatuan Islam, menunjukkan bahwa Iber membawa visi dan misi dakwah dari organisasi Persatuan Islam yang berorientasi pada penyebaran Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian jargon “Basana Moal Basi” seolah ingin menegaskan kepada para pembacanya, bahwa bahasa, kajian, isi dan substansi yang ada di majalah itu tidak dibatas oleh waktu dan tanggal penerbitan. Tentu saja, karena topik bahasannya berdasarkan kepada kajian Al-Qur’an dan Sunnah yang abadi sepanjang zaman. Di sinilah, Iber memiliki misi yang luhur dan mulia yakni mengajak masyarakat luas---agar dapat melakukan kebajikan (khaer), dapat memerintah yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar. Meskipun pembahasannya telah melewati ruang dan waktu---ketika terbit---tetapi isinya dapat dipetik di masa depan bahkan di hari akhir.
Sebagai media dakwah jam’iyyah, Iber dikelola oleh aktivis Persis. memang pada awalnya, Iber diterbitkan sebagai media dakwah bagi para anggota dan simpatisan Persis yang paling banyak tersebar di tatar Sunda. Majalah Iber dikelola pertama kali oleh Ust E Abdullah, meskipun sederhana tetapi memiliki isi yang memikat, bahasa yang mudah dipahami, dan kajian yang mendalam.
Sejak wafatnya ustadz Abdullah pada tahun 1994, Iber tetap terbit oleh generasi berikutnya yang ingin berjihad dengan pena. “Genteng-genteng oge teu kungsi pegat”, walaupun pernah kritis tidak pernah putus, Iber tetap setia melayani para pembaca fanatiknya. Iber lalu dikelola oleh cabang-cabang Persis yang ada di kota Bandung. Sejak tahun 1991, pengelolaan Iber berada di bawah Pimpinan Daerah Persatuan Islam Kota Bandung. Untuk memperluas wilayah persebaran dakwah, mulai tahun 2001, pengelolaan Iber menjadi tanggung jawab Pimpinan Wilayah Persatuan Islam Jawa Barat.
Di dalam majalah Iber terdapat beberapa rubrik yang biasa diisi para asatidz Persatuan Islam dimulai dari rubrik Intisari, Baca (Balaka tinu Maca), Rohangan Tafsir, Rohangan Hadis, Elmu Hadis, Bina Akhlaq, Istifta, Atikan, Rohangan Aqidah, Tamaddun, Akhbar Eunteung, Akhbar Jam’iyyah, Rohangan Annisa, Rohangan Haji, Bahasa Jawa, Emutaneun Urang dan Uswah. Rubrik-rubrik tersebut biasa diisi oleh Ustadz E Abdullah, Ust Emon Sastranegara, Ust Syarief Sukandi, Ust AD El-Marzedeq, Ust Maman Abdurrahman KS, Ustdz Atin Prihatini, Ustdz Rokayah Syarief, dan lain-lain.
Selain menulis buku, puluhan bahkan ratusan artikel beliau masih tersebar cukup banyak di beberapa majalah mulai dari majalah Risalah, Iber, Al-Fatawa, At-Taqwa, dan Al-Balagh. Ini menandakan bahwa ulama kharismatik asal Cianjur ini benar-benar seorang raksasa intelektual sebagaimana kakaknya KH E Abdurrahman (allahu yarham).
0 Komentar