Sayyed Husein Nash : Sains Sakral sebagai spirit kebutuhan pada spiritual dan akal

 


Karya: Muhamad Algan


‘’Modernisme telah membawa kehampaan dan ketidaktermaknaan hidup bagi manusia. Atas kebebalan rasionalisme modern, manusia telah mengasingkan Tuhan dan spiritualitas lalu merindukannya kembali. Bukan hanya itu, seluruh krisis lingkungan kerusakan ekologi merupakan wujud dari peran tunggal manusia sebagai raja di muka bumi.’’ 

Merasa terpantik ketika ku membaca dalam melacak pemikiran Nash dalam salah sebuah karya Sayyed husein nash, the need for a secred science 2005 dan kabar gembira bahwa karya tersebut yang telah diterjemahkan oleh dosen Aqidah & Filsafat Islam UIN Bandung mas Syihabul furqon dan kang Raja cahaya islami tentang kebutuhan akan sains sakral yang di terbitkan oleh Yayasan Al Ma’arij Darmaraja Sumedang bulan Januari tahun 2022 kemaren.

Gagasan Nasr tentang Sains sakral adalah perwujudan dari filsafat parrineal yang telah diejawantahkan sebelumnya oleh para Tradisionalis lainnya, termasuk Rene Guenon (1886-1951), Ananda Coomaraswamy (1877-1947), dan Frithjof Schuon ( 1907-1998). Semua pemikiran mereka dikenali melalui banyak nama, yang meliputi tradisi primordial, sanata dharma, sophia perennis, philosophia perennis, philosophia priscorium, prisca theologia, vera philosophia, dan scientia sacra. Semua istilah ini menunjukkan bahwa realitas itu abadi dan terjadi secara teratur dan umum (universal), tetapi pada saat yang sama memanifestasikan dirinya dalam ruang dan waktu yang luar biasa. Pemikiran Nasr tentang Parrineal tidak identik dengan Islamisasi sains. Antara Sains Sakral dan Islamisasi ilmu pengetahuan tercantum kesamaan dan juga perbedaan. Kemiripannya terletak pada kritik terhadap sekularisasi sains (pemahaman yang dipisahkan dari agama). tapi, diantara hal tersebut juga terdapat perbedaan. 

Jika sains sakral dibangun di atas konsep bahwa semua agama sama pada tahap esoteris (batin), maka islamisasi teknologi dibangun di atas kebenaran Islam. Ilmu teknologi yang sakral meniadakan kelebihan yang hanya dimiliki oleh Islam karena bidang ilmunya dimiliki oleh semua agama sedangkan Islamisasi teknologi lebih menekankan kekhasan ajaran Islam sebagai akidah yang sebenarnya. Mempromosikan Ide Parrenial Seyyed Hossein Nasr. Sebagaimana didefinisikan di atas, apa yang dimaksud dengan metode nasr dengan kearifan konvensional dalam Islam. Pikiran Nasr seputar hal ini muncul sebagai tanggapan atas apa yang dilihatnya sebagai bencana manusia yang mutakhir. Peradaban mutakhir – khususnya di Barat dan berkembang di dunia Islam – menurut Nasr, telah gagal mencapai tujuannya, yaitu mengabaikan integritas manusia. Kemudian Nasr yang mencoba memberikan penjelasan untuk:

Manusia saat ini telah melupakan siapa dirinya sebenarnya. karena orang-orang kontemporer berada di ambang lingkaran keberadaan mereka; dia paling efektif mampu memperoleh informasi tentang arena yang secara kualitatif dangkal dan kuantitatif berubah ubah. Dari informasi ini yang tersifat eksterbal, kemudian dia mencoba merekonstruksi citra diri. Dengan demikian, manusia masa kini semakin jauh dari pusat esensial, dan semakin terperosok dalam belitan jurang eksistensial.

Seyyed Hossein Nasr, Seorang Intelektual Muslim terkemuka di abad ini. Ia lahir di kota Teheran, Iran pada 17 April 1933. Memulai pendidikan dasarnya di Teheran, Nasr kemudian dikirim oleh ayahnya ke Qum untuk bekerja dengan murid-murid Iran yang luar biasa, termasuk at-Thabtaba'i, tasawuf, ilmu kalam, hafalan Al-Qur'an dan puisi puisi klasik Persia. Lahir dari seorang ulama ternama, nama Seyyed yang disematkan padanya adalah hadiah dari Raja Shah Reza Pahlevi kepada keluarganya.

Dalam perjalanan pendidikannya di Iran, Nasr melihat fakta bahwa ada ketegangan antara Barat dan Timur. Gaya hidup Barat saat ini dengan berbagai coraknya terus berusaha untuk menyampaikan arus dan masuk ke dalam budaya bangsa-bangsa Muslim yang cenderung kontroversial. Nasr boleh dikatakan sebagai seorang pemikir yang sangat tajam dalam mengkritisi pemikiran kritis barat modern (Antroposentrisme), ia mengkritisi teknologi masa kini karena faktanya; Pertama, pandangan duniawi tentang alam semesta yang tidak melihat jejak Tuhan dalam tatanan alam sekularisasi semesta dalam jejak eksistensi teologi. Kedua, alam digambarkan secara mekanistik seperti mesin yang bisa ditentukan dan diprediksi secara mutlak, yang memberikan dorongan ke atas pada masyarakat bisnis modern dan kapitalisme. Ketiga,  Rasionalisme dan Empirisme. Keempat, warisan dualisme Descartes yang mengandaikan pemisahan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Kelima, Eksploitasi alam sebagai suplai energi dan dominasi. Nasr mengusulkan sains sacral sebagai jalan keluar dari sekularisasi pengetahuan teknologi. Menurut dia, agama tidak memisahkan informasi dan akal tidak selalu membatasi keyakinan (credo ut intelligam et intelligo ut credam). Fungsi informasi adalah sebagai jalan utama menuju yang suci. "Metode Aql mengikat yang primordial." sama halnya dengan religio dalam bahasa latin yang berarti mengikat. Namun, Seyyed Hossein Nasr menekankan, sains sakral tidak hanya milik ajaran Islam, tetapi juga milik Hindu, Budha, Konfusius, Taoisme, Zoroastrianisme, Yudaisme, Kristen, dan Yunani klasik.

Dengan demikian, perennial sebuah respon yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern. Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran filsafatnya adalah tentang pembebasan manusia modern dari perangkap dan keterpasungna budaya dan peradaban yang diciptikan manusia sendiri. Topik ini terangkum dalam apa yang disebutnya sebagai sufisme atau aliran tradisional.

pembelaan dan pandangan Nasr terhadap sufisme, dan sufisme sebagai alternatif pembebasan manusia modern di akhir tatkala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggiring manusia modern pada fitrahnya yang semakin merosot. manusia-manusia mutakhir terjebak dan dijebak dengan memanfaatkan tirani modernitas yang mereka ciptakan sendiri. Ini juga menjelaskan bahwa manusia saat ini gagal memahami karakter dan penyebab keberadaannya. Mereka bersenang-senang dalam kekeringan batin yang membutuhkan upaya mendesak untuk sembuh.

Ungkapan Nasr di kalangan Barat, bahwa masyarakat Barat telah mencari jawaban dengan kembali memeluk agama setelah lama terlupakan. mereka telah mencarinya dalam agama Kristen dan Budha, tetapi tidak menghasilkan hasil yang diharapkan. Dalam situasi kesalahpahaman seperti ini, sementara selama ratusan tahun mereka telah memeriksa Islam dari sikap legalistik-formalistik, yang tidak lagi memiliki ukuran esoterik, menurut Nasr, kini saatnya pengukuran Islam secara internal. dibawa sebagai alternative  menekankan bahwa terlebih dahulu perlu dipahami bahwa tasawuf dalam Islam tidak sama dengan tasawuf dalam agama yang berbeda. Konsekuensinya, tasawuf dalam Islam harus dipahami melalui sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur'an dan Hadits dan contohnya, keberadaan dan ajaran Nabi Muhammad SAW, dan tidak bisa masuk ke dalam kursus tarbiyah—teknik unik pendakian spiritual para sufi—sebelumnya. Terlebih dahulu untuk masuk ke dalam lingkaran syari'at.

Atas dasar kebutuhan yang intens mencurahkan konsentrasinya pada sains sakral, melainkan karena modernisme telah merenggut sedemikian rupa tuhan dari kesadaran manusia secara umumnya, menyadarkan kita pada pendekatan yang holistik, metafisik sekaligus sapensial sebagai bentuk upaya untuk menghidupi api dari jantung Hikmah Al-Kholidah yang terlihat mulai padam, dengan demikian sebagai sebuah rethinking kerangka refleksi bahwa spirit pembebasan harus tetap menjadi sebuah semangat tajdid yang termaterialkan baik dalam basis nilai akal dan basis realitas spiritual untuk memaknai sebuah entitas roda kehidupan secara seutuhnya.

Lal salam

Hatur nuhun, Mohon Ampun dari segala apapun 

















Reverensi ;

Syihabul F & Raja C.I (2022). Kebutuhan Akan Sains Sakral Sayyid Husein Nash Terjemahan Seyyed Husein Nash, The Need for a secred science

Arif, S. (2014). Keseimbangan Alam Dalam Perspektif Scientia Sacra Seyyed Hossein Nasr. Refleksi.

Nasr, S. H. (2001). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Seyyed, H. N. (1990). Mand and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man. London: Unwin Paperbacks.

Maksum, Ali.  “Tradisionalisme Islam dalam Pemikiran Hossein Nasr”, Tesis, Program PascasarjanaIAINSUMedan,  1996.


Posting Komentar

0 Komentar