Gambar: shf
Karya: Rifki Azkya Ramadhan
Islam mengajarkan untuk senantiasa melakukan kegiatan keilmuan, kapanpun juga dalam situasi apapun, bahkan ketika sedang terjadi perang pun kegiatan keilmuan harus tetap digelar (9 : 122). Wahyu pertama yang Allah turunkan kepada nabi sekaligus rasul terakhir-Nya; Muhammad ( pun merupakan perintah untuk mencari ilmu dengan membaca. Hal pertama yang disampaikan Allah kepada Adam ( pun berupa pengajaran nama-nama benda (2 : 31). Dari dapat diketahui akan dahsyatnya kedudukan ilmu. toh kata al-‘ilm beserta pecahannya pun banyak disebut dalam kalam-Nya.
Tujuan Ilmu pun sebanding dengan kedudukan nya itu sebagai hal yang mulia. Ilmu yang diraih itu tujuan utamanya adalah ma’rifatul-Lah. Sebagaiman yang Allah tegaskan dalam firman-Nya.
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah..” (QS. Muhammad [47]:19) Maka Ilmu akan membawa pemiliknya kepada ketauhidan juga keimanan. Ilmu akan mengenalkan manisnya rasa bermunajat kepada Sang Khaliq. Ilmu pun akan menggiring pemiliknya untuk hidup bersusila juga berakhlaq mulia. Tujuan yang dipaparkan oleh al-Quran tersebut senada dengan tujuan pendidikan yang disematkan oleh negara Indonesia dalam undang-undangnya, yakni UUD nomor 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia ini ialah untuk membangun individu yang beriman, bertaqwa juga berakhlaq mulia. Hal itu pun dikumandangkan oleh seorang tokoh pendidikan Indonesia yang terkenal akan semboyan yang diutarakannya; Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, yakni Ki Hajar Dewantara. Beliau menyatakan “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.”. Maka dapat dilihat bahwa orientasi pokok juga utama dari pendidikan ialah terbentuknya insan yang bersusila dan memiliki akhlak mulia.
Namun nyatanya hari ini pendidikan di negara kita sangat lalai akan pengajaran adab. Mereka terfokuskan akan intelektual dalam pelajaran umum. Mereka diminta untuk tinggi dalam keilmuan namun nilai adab yang merupakan tujuan pokok pengajaran ditinggalkan. Bila diteliti kembali semboyan KI Hajar Dewantara yang kini dipajang di atribut-atribut sekolah, mempunyai makna bahwa guru itu harus selalu menjadi teladan bagi murid agar tertanam akhlaq yang mulia, gurupun dituntut untuk selalu mendorong murid agar selalu semangat dalam menimba ilmu. konsep pendidikan yang amat efektif untuk membangun jiwa yang berakhlaq mulia untuk anak didik.
Namun yang kini menjadi pertanyaan mengapa semboyan yang menjadi atribut itu hanya dipajang saja tanpa diamalkan?
Model atau kurikulum pendidikan yang ditawarkan saat ini banyak dicampuri oleh paham-paham sekularisme. Dan hal itu pun terjadi bukan hanya pada satu bidang pelajaran, namun hampir semua bidang dijejali oleh paham sekularisme.
Dalam pelajaran sejarah misalnya, kuasa Allah ( dalam menciptakan manusia dinegasikan begitu saja. Teori Darwin yang terkenal itu masih saja dipakai sebagai bahan ajar, kalau sekiranya hanya untuk pengetahuan mungkin boleh-boleh saja, namun ironinya hal itu di jadikan sebuah kebenaran. Padahal bila diteliti sangatlah mustahil. Al-Qur’an sudah jelas menyatakan baha manusia itu asal mulanya dari Adam ( sebagai manusia pertama yang Allah ciptakan. Namun karena adanya usaha sekularisasi ilmu dalam bidang sejarah, akhirnya wahyu pun yang sudah jelas-jelas akan kebenarannya yang absolut ditolak beritanya.
Dalam ilmu mengenai pertanian juga misalnya. Anak didik diajari bahwa proses tumbuhnya suatu tanaman itu adalah hasil usaha kita. Pasalnya dalam pelajaran tersebut tidak disinggung sedikit pun aspek ilahiyyah nya sebagai faktor terpenting akan tumbuhnya tanaman itu. Maka pemikiran anak didik akan terbawa sekuler akibat pengajaran yang menafikan peran terpenting dalam eksistensinya segala hal, yakni Allah (. Hal itu Allah tegaskan sendiri melalui berbagai firman-Nya, salah satunya ialah,
Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali ‘Imran [3]:129) Maka akibat yang diterima dari model pembelajaran seperti itu ialah akan muncul dalam pemikiran si anak paham hedomisme juga materialisme, bahkan paham pluralisme yang akan meruntuhkan aqidah dan keimanan mereka pun dapat menjangkiti mereka bila pembelajaran yang ditawarkan seperti itu.
Paham sekuler masuk dalam model pembelajaran di Indonesia ini bermula dari kolonial Belanda yang menawarkan pembelajaran melalui pendekatan yang dirumuskannya. Yakni dengan memisahkan nilai agama dari pembelajaran. Mendengar hal itu, sebagian masyarakat Indonesia pun saat itu banyak yang tertarik oleh metode pengajaran Barat itu. Karena memang mereka menganggap segala sesuatu yang datangnya dari Barat seolah-olah itulah yang terbaik, dengan meninggalkan apa yang datang dari negara nya sendiri. Padahal konsep pembelajaran yang ditawarkan oleh para tokoh pendidik Indonesia saat itu merupakan konsep yang amat brilian. Didalamnya terdapat pengajaran yang mengarahkan langsung anak didik kepada hakikat tujuan pembelajaran, yakni bersusila dan berakhlaq mulia. Karena hasil dari keberkahan ilmu itu ialah ada pada adab dan akhlaq. Jika keduanya masih belum dicapai maka ilmu itu bukanlah ilmu.
Inilah yang menjadi penyakit dikalangan kita, yakni terlalu mendewakan pemikiran barat dan merasa tidak percaya diri akan hasil produksi negrinya, hingga lupa akan tokoh-tokoh pemikir Indonesia yang tak kalah hebatnya dari mereka. Indonesia mempunyai Ki Hajar Dewantara yang menjunjung tinggi adab sebagai tujuan pembelajaran. M. Natsir tokoh politik sekaligus cendekia yang brilian. Beliau melakukan usaha integral nya dalam pendidikan, yakni integrasi antara materi pembelajaran umum juga pengajaran agama, dengan tujuan terasahnya intelektual siswa didik sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah kontemporer namun tetap mapan dalam adab dan akhlaq. Selain kedua tokoh tersebut adapula A. Hassan guru dari M. Natsir, KH. Ahmad Dahlan yang berperan besar dalam pendidikan basis pesantren dan banyak tokoh lain
Maka dari sumber daya yang kita miliki itu, kita tinggal menerapkan juga mngembangkannya dengan terobosan-teobosan yang kreatif namun tetap dalam bingkai islam. Jangan sampai hal berharga yang dimiliki dibuang begitu saja lalu menjadikan barang asing seabgai pegangan. Disinilah besar peran para pemuda terlihat. Para pemuda seharusnya berkaca pada perjuangan pahlawan-pahlawan dahulu. Sehingga semangat perjuangan dalam diri mereka berkobar. Mengingat potensi yang dimiliki para pemuda amatlah besar, sehingga diharapkan muncul para cendekiawan yang membawa inovasi kreatifnya demi terwujudnya perubahan.
Wal-Lahu’Alam
0 Komentar