Karya: Chaerany Fuzi
"Jalan sempit untuk memerdekakan diri"
Suatu hari ditemani sepi, dua orang siswa eh santri lah, entah apa namanya yang jelas tidak bisa matematika dan membaca kitab dengan memakai seragam berjalan di jalan yang terjal jalan pulang, ditemani panas mentari siang hari sepanas kalimat-kalimat "bias" yang selalu meluncur entah keberapa kalinya, husshh gak sopan toh ya? Memilih fakta atau sopan?
Salah satu dari mereka membaca raut sodara yang murung itu, dengan khas santrinya
"Antum Diq, kenapa nih? Sedih banget, inget loh ada Allah, jangan sedih" tandas jelasnya
"Aeh, haha gak apa-apa kok, kalau Allah ada mengapa kau Wahdi, so tau begitu?" Shodiq membalas sambil nyeleneh terkekeh, ia sudah benci karena diterka-terka.
"Yo wes salah nih aku, maaf"
Tetumbennya si Wahdi ini minta maaf, Shodiq mengerti itu biasanya hanya kata-kata, nanti bakal terulang lagi.
"Aku lagi mikir Di, lah kita ini apa ya sebenarnya santri atau siswa?"
"Wih, jangan berpikir dalam-dalam Diq nanti juga kamu bakal tau di masa depan nanti kau ini siswa atau santri"
"Tumben gak pake antum Di? Biasanya kau bangga sekali jadi santri" lagi-lagi Shodiq nyeleneh, memang sudah sikapnya.
"Aku jadi ikut mikir nih, gegara kau, kita ini santri atau siswa ya Di? Masa gak mutqin hadist, gak khatam juga rumus algoritma."
"Juga mau bangga jadi ragu aku ini, gak ada yang bisa dibedain kan? Mau status sosmednya islami juga tetep aja, bisa tau di japriannya genit bukan main, atau malesan sama kebaikan, katanya toh moral."
"Emang pantes yang kayak gini diketawain." ujar mereka berdua dalam batinnya
Shodiq adalah seorang yang berpikir mendalam, persoalan pun selalu menghantuinya, sampai dia memutuskan untuk menyerah sambil tertawa pun tak jarang ia lakukan. Memang, ia adalah seorang pelajar yang tidak terlalu tekun juga tidak terlalu membandel, biasa-biasa saja. (Tidak menarik ya? Tunggu, nah ini dia yang menarik, tapi jangan tertarik juga, kita tidak sedang main tarik-menarik)
Dalam pemikirannya karena ia seorang berpikir mendalam, suatu ketika sebelum ia tuntas memilih perjalanan pendidikan ia selalu kongres bersama seluruh keluarganya, muter bukan main pilihannya amat plin-plan takut disalahkan jika pilihannya salah, padahal kesalahan yang dibenarkan lebih berbahaya toh. Berangkat dia dari rumah dengan pakaian lengkap memilih melanjutkan perpen(perjalanan pendidikan) ke sekolah yang lumayan jauh, lumayan perlu satu botol air minum agar ia tidak kehausan. Ortunya omat-omat agar ia berguna dan terurus akhlaknya.
Pilihan Shodiq ambyar tak sesuai ekspetasi, pertanyaan yang sama saat Shodiq pulang pasti terlontar, mau dengan nada pelan, melodis, dramatis tetap bagi Shodiq itu adalah pertanyaan paling horor sedunia.
"Diq, sudah punya apa hari ini yang dibawa pulang?" pasti bukan main setelah pertanyaan itu Shodiq pergi ke kamar mendekap lutut dan berkata pada batinnya "Gagal lah aku ini!" Gilanya, setiap menatap wajah ortunya pasti keluar pertanyaan itu, menatap takut ditanyai tak menatap merasa durjana duh, bingung Shodiq.
Shodiq punya tiga orang kakak. Namanya An, In dan Un
Panggilannya memang sesingkat itu, nama Shodiq paling beda, dari situ Orang tua nya selalu ngomat lagi, biar dia jadi pembeda katanya juga paling bersinar diantara keluarganya bukan glowing sih, harapan dari ortunya jadi beban pribadi Shodiq eh iya kenapa di publish ya? Kan tadi katanya pribadi hehe.
An kakak pertama sudah nikah, rumahnya lumayan jauh dari rumah yang Shodiq tinggali. An orangnya keras bagusnya ilmu religinya mantep, karena itu An suka ngajar ngaji tapi dia ngajarnya cuek, kalau lagi ngaji kalau Shodiq nanyain tentang dalil pasti dia sewot, suruh nyari sendiri, alesannya "otodidak bakal melekat" Shodiq jadi males nanya lagi, udahnya pasti ngegerutu "Lah wong kalo mau otodidak juga ngapain jauh-jauh ke sini ngajar alih-alih kalau mau nyari sendiri juga harusnya dikasih kitabnya, ini mah nggak sama sekali! " Shodiq juga kesel banget pasal waktu itu duitnya pernah keluar ditagih buat beli buku, yang bukunya belum di kasih padahal udah dua taun lebih. Eh iya pernah juga gerutuan tentang minta dikasih kitabnya juga sampai ke telinga An, dan dijawab frontal "beli! Kalau gak bisa fotocopy, gunain duit mu itu!" lah nyuruh gunain duit, yang dua taun kebelakang itu digunain apa?
Ada juga In kakak kedua yang paling sering dingeluhi oleh Shodiq, dan Shodiq tau jawaban semua keluhannya pasti:"Lawan Diq, beranilah kau! Junjung tunggi kekesalanmu itu, asal kau ada di jalan yang benar" pasti setelah keluar kalimat andalan itu Shodiq terenyum walau batinnya selalu sakit karena lagi-lagi mau melawan tapi banyak tapi-nya, salah satu "tapian-nya" adalah tapi takut sama An yang gak ngebolehin banget kata lawan kalau belum cukup ilmu.
Ada juga Un yang paling santai, kakak ketiga ini ga pernah ngasih solusi gak pernah ngebantu, kerjaannya cuma muja-muji si Shodiq, alih-alih mungkin punya harapan agar Shodiq suatu saat sangat pantas mendapat pujian itu dengan prestasi dan sensasi yang tepat.
Nah itu kakak-kakaknya, biasanya kalau si Shodiq punya masalah internal dia jarang minta saran kakak-kakaknya soalnya bikin kelimpungan, biasanya malah makin kesal kalau nggak, gaada gunanya.
Nah, sekarang kita ceritain ortunya.
Ibunya Shodiq orangnya cekatan, kritis tapi plin-plan juga sebagai ibu nggak banyak berperan kecuali dalam masakecil.
Kalau bapaknya plin-plan, religius tapi apatis bukan main, gak tau nih kalau si Shodiq bawa nama keluarga mungkin bapaknya bakal sadar anaknya ada yang namanya Shodiq, segitunya sih. Bapaknya juga orangnya retoris sayangnya menurut si Shodiq omongannya kayak menjanjikan tapi nggak menghasilkan, kata si Shodiq juga "Bapak ilang-ilangan mulu orangnya, kadang juga gak ngehargain kakaknya, masa pas waktu itu si Shodiq mau ngaji seperti biasa sama kakaknya si An, bapaknya lewat, sambil ngomong -Ngapain An disini, udah malem- gitu," ya menurut tafsir asal si Shodiq dengan kekuatan berpikir mendalamnya pasti berpikir bahwa secara tidak langsung bapaknya selama ini nggak pernah tau si Shodiq suka ngaji, kakaknya An suka ngeluangin waktu ngajar dan mereka melakukan itu minimalnya buat bikin Ortu bahagia, tapi bapaknya malah kayak ngeledek minta An cepet-cepet pulang ke rumahnya, entah alesan apa. Meski begitu bapaknya tetap disebut bapak, cuma cara memperlakukan bapaknya aja yang kurang enak dengan dalih -dia begitu ya aku begini, "hukum timbal balik mas broo" gitulah ujarnya. "Masa iya bapak sendiri dilawan sih?" Pertanyaan yang tidak jarang terlintas di benak Shodiq.
Masih tentang bapaknya Shodiq, pernah suatu ketika karena kakaknya sepakat geram kerana apatis bapaknya mereka minta Shodiq angkat bicara dengan alasan, Shodiq yang paling gak banyak nuntut, walau kalau dikasih baju baru yang paling terakhir, walau kalau di beri tugas dikasih cobaan dadakan, Shodiq tetap gak mau marah, yang jelas gak di tampakin, mungkin karena sikap berpikir mendalamnya, atau takut kalau ditampakin malah makin bikin gak enak. Apalagi sama bapak. Shodiq yang pendiam cuma angkat bicara sesekali, minta biar bapaknya peduli ke kamar sodaranya si Wahdi yang udah bocor banget, kayaknya sekali kena hujan udah kayak tsunami, bapaknya ngangguk, minta adain sodara perempuan biar ada yang ngurusin rumah, bapaknya ngangguk juga, yang terakhir minta bapaknya ngedukung apa yang kakak sama dia usahain, bapaknya ngangguk juga, ya, cuma ngangguk, sesekali bapaknya suka minta pembenaran sikapnya bahwa yang bapaknya lakuin selama ini "agar(kita) belajar" katanya, Shodiq sama kakanya In pembela 'melawan' itu sebatin, menggerutu "belajar apaan?Belajar dari kekurangan? Ahahaha basi!" begitu gerutu mereka.
Tambah tatkala mengira kondisi ekonomi kritis tapi bapaknya yang makin ngegemesin itu naik mobil baru ke rumah tanpa traktiran. Mana diantara mereka berenam gak pernah diajak. Juga bapaknya pas diakhir obrolan bilang "kalau ada problem ayo aspirasikan lewat apapun, menulis contohnya, tempel di tempat banyak orang melihat." lah, ngapain di banyak orang kenapa nggak dikasih ke bapak aja? Mungkin dia gak mau sendirian.
Beberapa bulan kedepannya si Wahdi ngadu ke Shodiq, katanya kamarnya tetep aja bocor mana di potong lagi kamarnya sama ruangan buat kumpul-kumpul, sempitlah jadinya, si Shodiq yang emang udah tau makin sedih denger cerita langsungnya itu, langsung=_live_ dari hari, dan si Wahdi udah hampir gak peduli. Kan tadi yang udah di sebutin _omongannya menjanjikan tapi tidak menghasilkan_
Keluarga Shodiq juga pernah punya masalah dengan yang punya tanah rumah, gak jelas juga sih kata si Shodiq, cuma gak pernah ada yang tuntas ngejelasin, ya harusnya sih bapaknya.
Oh iya bapaknya Shodiq juga punya teman, orangnya bijaksana akurat gak ngertilah pokoknya obrolannya udah gelimpangan mutiara, karena beliau punya aliansi, kadang beliau ngajak temennya yang sealiansi itu datang ke rumah buat ngobrol sama kita-kita, tentang keadaan hari ini yang istilahnya rumah kita ini lagi(-sakaratul maut- jadi pengen nyerah aja:')) ) biasanya beliau suka ngebenahin kekeluargaan kita, atau sesekali bikin amunisi gerakan, cuma sekarang-sekarang beliau susah ke rumah dengan kira-kira alasannya waktu itu mereka dibatasin kunjungan ke rumah karena katanya bikin dampak buruk, iya dampak buruk dibatasnya juga imbas ke kita hari ini, kelimpungan, labil, juga kehilangan budaya khas. Ya yang jelas ngisi amunisi harus rajin-rajin dateng sendiri hmm.
_"Wayahna"_, katanya singkat. Bapak lebih berwenang, harus maklum kalau kiranya beliau dengan sealiansi nggak melawan, harus maklum juga kalau kami di rumah makin geram.
Ya, itulah rumah kami, dua tahun kebelakang masih terbilang sering ada yang menginap di rumah, biasanya setahun sekali untuk ngilmu, orang jauh, biasanya dari Maluku, atau daerah timur. Saat masa-masa kesempatan terakhirnya, pengorbanan ekonomi perjalanan jalur udara yakni pesawat atau kalau ongkos tidak memadai sehari semalam perjalanan jalur laut, yang kali ini kebetulan seangkatan dengan Shodiq juga Wahdi namanya Shinta,
Shinta yang cekatan dan membawa harapan besar dari kampungnya seringkali semangatnya pudar kalau-kalau ekspetasi lagi-lagi hanya fatamorgana, dia biasanya cerita pada Shodiq atau Wahdi yang tahu jelas bagaimana keadaan rumah mereka.
Kali ini giliran Wahdi yang mengkritisi,
Orang jauh yang memerlukan berbagai pengorbanan ditangguhkan masa depannya, dititipkannya disini dengan berbagai problem ke khawatiran orang tuanya atau problem keuangan, kasarnya masak akan dibalas "kalian harus belajar, belajar otodidak,"
lah jauh-jauh, untuk apa kalau disuruh belajar sendiri? Makan, minum, tidur numpang juga bayar, untuk apa?"
Kalau sia-sia akan jadi makna kenapa harus sia-sia dulu sih? Gak ada yang buat makna biar lebih bermakna? Pikir Wahdi yang sesekali memandangi Shinta yang duduk sambil merasa iba.
Yang jelas dari cerita Shodiq dan Wahdi serta keadaan yang semakin menajam ke jalan keragu-raguan, adalah mereka yang selalu ditanyai tentang kebiasaan, dorongan dan pengekspresian. Mereka yang hampir kehilangan jatidiri, dibentur oleh ketidakselarasan dan keadaan yang bias selalu menimbulkan pertanyaan dalam benak "sebenarnya apa yang terjadi?" menyebabkan kami yang senantiasa ingin pergi dari rumah namun masih ada sisa-sisa yang sayang jika ditinggal, meninggalkan serasa berdosa, menetap hanya bisa berdoa. Cita-cita tuan rumah yang memiliki generasi faqqihu fiddin hanya angin lalu bagi mereka, karena pasangan berduaan, dilingkungannya meraba lawan jenis, kasus pencurian, atau sederhananya perayaan ulang tahun, tidak ke taat aturan rendahan, saja sakralnya hanya jadi bualan semata dan ditangani oleh kami-kami sendiri, parahnya kami jadi susah manut sama perintah tuan rumah yang sejatinya harus dipatuhi namun apatisnya kebanyakan jadi kami seringnya melanggar. Melesat kelimpungan, diam kebingungan.
Ibu pasti bertanya setiap pulang,
"sudah punya apa hari ini yang dibawa pulang?"
Tiga tahun nak, itu adalah lama.
Lagi-lagi lututku dipeluk sambil diam berpikir yang menyia-nyiakan itu siapa?
Tasikmalaya, 05-08-20
0 Komentar