Titik Terbaik Takdir | Part I



 بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ

Karya: Nida


Matahari mulai menampakkan dirinya dari ufuk timur. Seorang gadis tengah berjalan melewati koridor pesantren, senyuman merekah di kedua sudut bibirnya saat ia tiba di suatu tempat.


Gadis itu berjalan memasuki ndalem, yang sudah ia pastikan di dalam sana sudah ada abi serta kakaknya yang sedang menunggu kedatangannya.


"Assalamualaikum!" ucap gadis itu, dan benar saja di hadapannya terdapat abi serta kakaknya yang sedang berbincang dengan Pak Kiyai Mukhtar dan Bunyai Sarah sang pemilik pesantren Nurul Huda tepatnya di kota Jakarta.


"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak. Lantas senyuman gadis itu kian merekah, matanya sudah  berkaca-kaca meluapkan rindu yang sudah tidak terbendung lagi.


Gadis itu berlari dan langsung memeluk erat abinya. "Abiiii, Hawa kangen!" ucapnya, tangisnya pun pecah di dalam pelukan sang Abi.


Yusuf mengusap lembut pucuk kepala Hawa yang terbalut oleh hijab syar'i-nya. "Abi juga kangen sama Hawa," balasnya sembari mengecup lembut dahi Hawa.


Hawa melerai pelukannya, dan beralih menatap sang kakak yang juga sangat merindukan dirinya. Mata laki-laki itu berkaca-kaca tanpa aba-aba ia pun memeluk Hawa, sang adik dengan erat.


"Hawa kangen sama Adam! Ternyata Adam udah gede ya!" imbuh Hawa sembari terkekeh pelan.


"Kamu gimana sih? Kan kita kembar, ya gede bareng lah!" balas Adam.


Hawa Shakaela Qulaibah. Iya, itu adalah namanya, ia kerap di panggil dengan sebutan Hawa, gadis cantik dan ceria. Ia memiliki saudara kembar bernama Adam Faiz Al- Arkhan yang kerap di panggil dengan sebutan Adam. Saat ini keduanya sudah menginjak usia 17 tahun.


Hawa dan Adam terpisah saat mereka mulai memasuki bangku Tsanawiyah, karena pada saat itu Hawa mendapatkan beasiswa sekolah di pesantren yang cukup terkenal di Indonesia, Nurul Huda tepatnya di kota Jakarta. Walaupun Abinya memiliki pesantren tetapi Hawa tetap ingin mengambil beasiswa itu, ia pikir kesempatan tidak akan datang dua kali dan itu adalah kesempatannya.


Dan tepat di kelas 11 SMA, Hawa memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, ia pikir sudah cukup ia merantau di negeri orang. Jadi, hari inilah yang ia tunggu-tunggu, dimana Abi dan kakaknya akan membawanya kembali ke kampung halamannya_Bandung.


"Sebenarnya saya sedih mendengar keputusan Hawa yang ingin meninggalkan pesantren ini, karena Hawa termasuk santri yang sangat berprestasi, tapi ini adalah keputusan Hawa jadi saya tidak boleh melarangnya," ucap Bunyai Sarah.


"Afwan Bunyai sudah mengecewakan," ucap Hawa merasa bersalah.


Bunyai Sarah tersenyum. "Nggak nak kamu nggak pernah mengecewakan Bunyai, pesan Nyai tetap menebarkan kebaikan di manapun Hawa berada ya," pesannya.


"Baik Bunyai."


"Kalo begitu kami pamit pergi ya, Pak kiyai, Bunyai," ucap Yusuf.


"Iya Gus, hati-hati di jalan," ucap Kiyai Mukhtar.


"Fii amanilah ya nak," ucap Bunyai Sarah.


"Assalamualaikum."


"Waalaikumsalam."


Yusuf, Hawa dan Adam keluar dari ndalem. mereka memasuki mobil BMW hitam milik Yusuf, lalu mobil itu pun mulai berjalan melaju meninggalkan kawasan pesantren. Hawa menatap teman-temannya dari jendela mobil yang sedang melambaikan tangan ke arahnya.


"Sampai jumpa lagi Hawaaa..." ucap mereka.


"Sampai jumpa..." balas Hawa, lalu mobil pun keluar dari kawasan pesantren untuk menuju kota Bandung.


•••


Perjalanan dari Jakarta menuju Bandung hanya membutuhkan waktu 6 jam. Saat ini mereka sudah sampai di kota Bandung dan sekarang mobil sedang menuju pesantren Raudlatul Jannah, tempat mereka tinggal.


"Abi, kira-kira kakek nenek kangen sama Hawa nggak ya?" tanya Hawa.


"Pasti kangen dong sayang," balas Yusuf, "abi pun kangen banget sama bawelnya Hawa," lanjutnya.


"Ih Abi! Hawa nggak bawel ya!" tukas Hawa.


"Nggak nyadar kamu mah," ucap Adam.


"Adaaaaam!" pekik Hawa.


"Tuhkan bawel!" cibir Adam.


"Bodo ah, pokoknya Hawa nggak bawel, titik!" tekan Hawa.


"Terserah kamu deh," ucap Adam pasrah.


Diam-diam Yusuf tersenyum memandangi Hawa dari kaca spion mobil, melihat Hawa seperti ia melihat kembali sosok Zulaikha. Sifat Hawa wajah Hawa memang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Tak sadar Yusuf pun meneteskan air mata, sungguh ia sangat rindu dengan mendiang istrinya.


"Likha, lihat anak kita tumbuh menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Likha seneng kan?" lirihnya pelan.


Tak terasa mereka sudah sampai di pesantren Raudlatul Jannah, mobil BMW hitam mulai memasuki kawasan pesantren, tentunya hal itu mengundang semua atensi para santri yang sedang berlalu-lalang di depan ndalem.


Yusuf, Hawa dan Adam pun keluar dari dalam mobil, lantas banyak yang kagum atas kecantikan dari diri Hawa, memang benar rumor yang tersebar di pesantren jika Hawa seperti spesies bidadari.


Saat Hawa berjalan banyak para santri putri maupun putra yang berbisik-bisik, mereka semua memuji kecantikan Hawa, membuat sang empu menjadi sangat risih.


"Masya Allah, Ning Hawa geulis pisan!"


"Gus Adam-nya kasep Ning Hawa-nya Geulis. Emang manusia yang sempurna!"


"Masya Allah Itu teh Ning Hawa kembarannya Gus Adam!"


Begitulah ucapan-ucapan yang tak sengaja Hawa dengar dari mulut para santri.


"Adam aku malu di liatin gitu," ucap Hawa merasa risih.


"Kamu kecantikan sih," balas Adam asal.


"Ish, nyebelin!" decak Hawa, ia pun segera berjalan mendahului Adam, ia sudah tidak sabar bertemu dengan kakek neneknya, apa mereka bertambah tua? Eh, astagfirullah Hawa!!!!


"Eh, kok aku di tinggal?" ucap Adam.


"Kamu nyebelin sih!" balas Hawa.


"Assalamualaikum Kakek Nenek!" teriak Hawa di saat ia sudah berada di ndalem.


"Waalaikumsalam," terdengar sahutan dari kakek-neneknya.


"MasyaAllah Hawaaaa!!" ucap Zahra, sang Nenek.


Lantas Hawa pun langsung berlari memeluk Zahra. "Nek, Hawa kangen!" ucapnya.


Zahra mencium pucuk kepala Hawa, air mata kebahagiaan menetes dari pelupuk matanya. "Nenek juga nak, Nenek kangen banget!" ucapnya.


"Ekhem! Sama Kakek nggak kangen nih?" sindir Hasan sang Kakek.


Hawa pun melepaskan pelukannya dan beralih memeluk sang Kakek. "Kangen banget Kek. Ngomong-ngomong Kakek tambah tua heheh," ucap Hawa sembari terkekeh pelan.


"Dasar kamu ya! Tua-tua gini Nenek kamu cinta berat sama Kakek," ucap Hasan percaya diri.


"Inget umur Mas!" tukas Zahra, lantas mengundang tawa seisi rumah.


"Hahahah, udah Bund kasian Ayah," ucap Yusuf sembari terkekeh geli.


"Astagfirullah, untung sabar," keluh Hasan sembari mengusap-ngusap dadanya, lagi-lagi hal itu mengundang tawa yang lainnya.


Hawa tersenyum bahagia, inilah moment yang sangat ia rindukan. Tapi ada satu rindu yang belum bisa ia obati.


Bertemu ummi...


"Ummi, Hawa kangen..." lirihnya pelan.

Posting Komentar

0 Komentar