Karya: Abd mannan
Namaku Nadia, lahir dari keluarga yang tidak mampu, ayahku pekerja nelayan dan ibuku sudah lama meninggal sejak aku baru di lahirkan ke dunia ini. Ayahku sangat membenci pendidikan. Bahkan saat aku meminta secara terang terangan padanya untuk bisa sekolah beliau hanya bilang" buat apa wanita sekolah, jika pada akhirnya tidak bisa mencari uang sakit lalu maninggal" Begitulah kata kata ayah yang kadang memang menyakitkan, karena memang keadaannya Al marhum ibuku juga begitu sama dengan apa yang ayah katakan. Tapi bagiku tidak, itu adalah awal dari motivasiku untuk menyadarkan ayah agar ayah sadar betapa pentingnya sebuah pendidikan. Aku akan mulai kisah ini dari awal, dari mana aku bisa sukses sampai sekarang dari merangkak kemudian aku terus berusaha bangkit tanpa henti. Dulu ketika ayah sedang melaut aku gunakan kesempatan itu untuk pergi ke sekolah untuk mengintip, yah sekedar mengintip saat guru sedang mulai mengajar para murid di sana. Tahukah kalian jika mereka menggunakan pensil dan kertas putih saat belajar, aku tak mau kalah dari Mereka, ku gunakan papan bekas untuk ku jadikan kertas dan paku karat untuk ku jadikan alat tulis, meski dalam keterbatasan saat itu dalam benakku hanyalah belajar dan belajar. Ketika malam tiba aku kembali kesekolah itu dan melihat papan tulis yang belum terhapus, membaca kata demi kata menghitung angka demi angka. Seperti inilah setiap hari setiap malam aku lakukan demi mengubah hidupku, tapi masalahnya dari semua itu adalah dari ayah, beliau selalu tak mengizinkan aku untuk menjadi seorang pelajar. Bahkan jika ayah melihat aku sedang belajar beliau akan mengambil buku itu dan kemudian membakarnya, juga gak akan segan segan memukuli jika aku masih ngeyel untuk belajar.
Suatu ketika aku kembali lagi mengintip di sekolah itu, saat itu guru sekolah sedang memberi soal kepada semua murid namun tidak ada satu dari mereka yang mau menjawabnya, dengan sepontan aku menjawab
" Kapan pangeran Diponegoro wafat?" Tanya dari seorang guru
" Pada tahun 1834" jawabku dengan sepontan.
Tiba tiba semua mata tertuju pada padaku yang sedari tadi mengintip di balik jendela sekolah, tak luput dari tatapan itu adalah guru yang sedang mengajar itu menghampiriku. Akupun berusaha menghindar namun guru itu memanggilku
"Tunggu nak, " cegahnya
"Coba jelaskan jawabanmu tadi" pintanya padaku
Dengan gugup akupun mulai menjelaskan jawaban dari pertanyaan guru tadi.
"Pada 1834, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Di kota tersebut, Pangeran Diponegoro menghabiskan sisa hidupya hingga tutup usia pada 8 Januari 1855. Ia dimakamkan di Jalan Diponegoro, Makassar." Jawabku dengan merasa gugup
" Jawabanmu benar, siapa namamu nak?" Tanyanya sekali lagi
"Na..nadia..!" Dengan nada terbata bata.
"Kamu sekolah dimana, dan bagaimana kamu menjawab pertanyaan tadi? Dengan penasaran guru itu bertanya lagi.
"Saya tidak sekolah Bu"
Guru itu hanya terdiam sejenak dan hanya memandangi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
" Kamu jangan keman kemana dulu, nanti habis pelajaran ini selesai ibu ingin bicara sama kamu"
Bersambung...
0 Komentar