Farzana

 

Gambar: shf

Karya: Teresia Farza


“Ini undangan dari dia?” tebaknya.

“iya itu memang benar. Sosok yang selalu ku sebut dalam do’a itu adalah dirinya, dan nama yang senantiasa mendampingi setiap lembar Diary ku juga adalah namanya”. Aku bergumam lirih menahan seluruh sesak di dada.

“Ana ... Kamu harus ikhlaskan seluruh garis takdir ini. Kamu pasti tau bukan, puncak dari mencintai itu adalah mengikhlaskan”. Claudia menggenggam erat tanganku menyalurkan kekuatan baru untuk membantuku kuat bertahan dalam legamnya kisah ini.

“Iya Clau ... Makasih banyak karena udah selalu ada untukku, menyelami lautan cinta yang katanya mempesona itu sudah menjadi kesalahan ku dari awal. Aku mengaguminya dari jauh dan terlalu berharap akan dirinya ternyata membuatku lupa akan sakitnya rasa kecewa”. Aku berusaha menguatkan hati dan menghapus sekilas air mata yang sempat bermain di pelupuk mata.

******

“FARZANA AZIZAHHHHH! MAU LARI KEMANA KAMU!” Aku tak hentinya berlari sembari tertawa melihat laki-laki bertubuh tambun yang selalu mengusik pagiku yang cerah.


Aku melompati pagar yang cukup tinggi untuk ukuran anak seusiaku. Namun karena ini sudah menjadi rutinitas pagiku, semuanya terasa lebih mudah. 

“hufftttt ... Huhhhh hahahaha”, tawaku semakin tak reda melihat bapak itu jauh tertinggal di balik pagar.

“Hadeuuuhhh ... Dasar Bapak tuwir mengganggu mentari yang cerah pagi ini bersinar aja”. Aku berhenti sejenak menghapus peluh yang merembes deras di sekujur tubuh.

“Eeetttdahhh ... Ngapain disini Curut?” tukas seorang bocah seumuran ku yang tengah bersandar di sudut pagar yang berciri khas pagar Sekolah Dasar.

“Biasalah, Pak Bernard bear ngamuk lagi. Males gue di dalem di ceramahin mulu panas nih telinga”. Akupun mendudukkan asal bobot ku di atas tanah merah yang menghiasi kebon sekolahan. Setelah tidur-tiduran ngga jelas dan memainkan tanah asal, bocah di sudut pagar itu kembali bersuara “Woyyy Curut hari itu ada acara di SMP depan itu tuh, kesana yuk nyari angin”. 

“Hayu lahh, gue juga bosen disini Mulu” tukasku. Aku dan bocah itu mengendap-endap keluar dari lingkungan sekolah.

“ehhh ... BTW nama Lo siapa? Curut?” Ia menepuk pelan bahu ku.

Aku melotot galak ke arahnya “Mentang-mentang badan Lo tinggi serupa tiang listrik, Lo kira Lo berhak gitu bilang gue Curut? GUE PUNYA NAMA”. 

“Santai aja lah, kan gue Cuma nanya” ia bergumam lirih sembari berjalan cuek.

“Iya-iya Maaf, Nama gue Farzana Azizah dari kelas 5A” aku mengulurkan tanganku ke arahnya.

Ia menyambut hangat uluran tangan tangan ku dan tersenyum manis “Nama gue Alvian Dharmawan dari kelas 5B”

“Oke sip. Sekarang kita sahabatan” lanjutnya, Aku hanya cengo mendengarnya.

“Ogah gue mau sahabatan bareng Lo”, aku memberikan ekspresi muak di depan dia.

“Ohhh ... Jadi Lo mau gue tinggalin disini?” ia tersenyum jahil ke arahku.

“ishhh ... Ngeselin banget dehh Lo” aku menghentakkan kaki kesal.

“Udah ahhh Lo berisik banget deh, kita udah nyampe tuh” Alvian menunjuk sekolahan yang sudah berada di depan mata.

****

“Hei Ana, kamu ngapain ngelamun sendirian disini?” lamunanku buyar di terjang angin yang berhembus seiring kedatangan Claudia.

“Ngga Clau, Cuma lagi nyari inspirasi aja buat nulis” Aku tersenyum manis menutup kembali lembaran-lembaran Diary yang baru saja tergores ribuan tinta.

“Udahlah Ana, takdir ngga bisa di ubah lagi. Semuanya udah kejadian.” Claudia menghembuskan nafas lelah melihat keadaan ku yang kian hari kian kacau.

“Aku juga di jodohin Clau” aku melontarkan kejutan baru yang ku dapat shubuh ini.

“Kejutan apalagi ini Ana?” Ia mengerang frustasi.

“Akuu ... Ikhlas kok Clau” aku tersenyum simpul mencoba memantapkan hati untuk menerima seluruh garis takdir yang tertulis untukku. Menyedihkan memang, tapi aku bisa apa? Cuma bisa sabar dan menerima.

“Oke fix. Hari ini kita harus happy fun dulu sepertinya An”. Akhirnya aku dan Claudia menghabiskan seluruh waktu seharian untuk berkeliling berburu berbagai macam kuliner di kota Yogyakarta.

Setelah lelah seharian, tak lupa aku menyisihkan sedikit waktu untuk mengisi lembaran kertas Diary yang mungkin beberapa hari lagi akan mengakhiri masanya untuk mengiringi perjalanan kisah ku.

❤️ *3.210 Day*

_Doaku menggantung di bentangan ufuk. Diantara cahaya fajar keemasan yang selalu membawa harapan setiap kali wajah malam dikuliti menjadi cahaya siang._

_Doaku melebur diantara embun-embun pada pucuk-pucuk daun atau hamparan rerumputan kecil. Tak terkecuali menetes pula dari ribuan pucuk-pucuk ilalang yang semalam menjadi rumah tempat kunang-kunang berteduh._

_Doaku mengabur diantara redup cahaya gemintang yang terlihat malu menampakan wujud. Kala siang telah membawa harapan baru tuk di rajut. Ia memilih pulang pada peraduan, sebagai ketetapan dari Tuhan._

_Namun, meski begitu. Doaku akan selalu menyemai. Setia bak deduanan musim gugur yang rela runtuh dan jatuh pada tanah. Demi memberikan kesempatan bagi daun-daun lain untuk tumbuh, menikmati perputaran musim yang kadang kering dan terkadang basah saat langit tengah bergemuruh._

_Juga untuk merasakan tiupan semilir angin-angin barat dan timur. Untuk mencicipi tetes segar embun di pagi hari. Sebab, kadang untuk melihat wujud doa itu, Tuhan selalu memintaku agar dalam hidup aku bisa lebih bersabar sedikit lagi. “Fashbir Shobron Jamila”. Dan bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik._

_Sampai Tuhan menunaikan segala janji-janji. Sebagaimana Firmannya yang termaktub dalam kitab suci: “Inna ma’al usri yusro.” Bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan._

_Oyb_

*****

Detik demi detik merangkak dan menggeliat melewati menit, jam, hari bahkan bulan pun tak mau kalah untuk mengganti dengan wajah baru. Tak terasa, waktu yang telah di rencanakan itu nyaris tiba. Semua wajah-wajah bahagia menghantar arus-arus angin mengecup rimbunnya pepohonan di pinggir bangunan yang ku sebut dengan 'rumah'. Besok adalah hari yang telah di janjikan. Besok adalah puncak dari semua perjuangan yang ku namai dengan keikhlasan. 


Tak mudah memang menerima segala garis takdir yang telah tertulis oleh yang Mahakuasa, tapi aku bisa apa? Toh dia adalah yang menggariskan takdir terbaik untukku.

“Bu ... Aku benar-benar sibuk belum bisa pulang ke rumah, lagian aku kan masih muda bu. Masih 20 kok dan aku bisa jaga diri.” aku menggali seluruh ide yang akan ku luncurkan untuk tak menghadiri acara besok.

“Aduhhhh bocah ini kebanyakan alasan yah. Sewaktu acara lamaran kamu mengeluarkan jurus seribu alasan agar kamu tak hadir di acara itu, gara-gara kamu adalah si bungsu kesayangan ayah akhirnya dia luluh kan?. SEKARANG TAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK PULANG”, tegas ibu saat aku membujuknya shubuh tadi.

“Buu ... Ayolah. Aku ngga bisa hadir, kerjaan aku numpuk banget nih”, bohongku.

“Pulanglah nak, Ibu tau kamu menghindari acara penting ini karena kamu trauma dengan masa lalu mu kan? Entah laki-laki mana yang telah kamu cintai sepuluh tahun lamanya dan akhirnya kamu meraup kecewa. Sudahilah air matamu nak, akan selalu ada orang yang menjadi pengobat luka itu. Ayah dan ibumu ini sudah semakin tua dan renta. Apalagi yang kamu tunggu? Tunggu hingga kami tak bisa mendampingi mu untuk akad nanti?”, Isak tangisnya di ujung sana meluluhkan hatiku yang keras tak bertuah ini.

“Baiklah Bu, aku akan pulang”, itulah keputusan akhir ku untuk hari ini.

Ternyata memang benar. Ikhlas dan berdamai dengan keadaan itu Cuma mudah jika di ucapkan secara teori, saat itu terjadi dan menimpa dirimu semua itu akan terasa lebih berat. Entahlah, entah ini akhir dari perjalanan kisah sedih yang ku rangkai sendiri dalam diam selama 10 tahun terakhir. _“Hai sudut hati yang telah tertanam nama yang selalu ku sertakan dalam do’a apa kabar mu? Semoga semua ini akan baik-baik saja”._ Aku menguatkan hati menyelam dalam gelapnya malam mengarungi hiruk-pikuk rumah yang heboh untuk Persiapan hari esok. Aku hanya berdiam diri di atas kasur yang telah di taburi lampu-lampu indah, aku sedang tak ingin di ganggu saat ini. 

Malam ini rutinitas biasanya telah aku hentikan, Mungkin saja untuk selamanya. Diary yang telah bertumpuk-tumpuk menghiasi perpustakaan kamar yang biasanya ku bawa pindah kemana-mana kini telah aku tinggalkan di pulau sebrang. Mungkin dengan menjauh dari semua cerita lama itu aku benar-benar akan bisa mengikhlaskan segalanya. Aku hanya bermenung di sudut bingung meratap kosong kanvas-kanvas kamar yang terhias indah. Tanpa terasa, sayup-sayup aku mendengar suara adzan shubuh berkumandang. Dan untuk kesekian kalinya aku gagal mengistirahatkan pikiranku dari rumitnya kisah ini, sekarang yang ada hanya pasrah. Akupun bersiap-siap menghadap sang Khaliq pemilik hati, jiwa dan ragaku. Memohon dengan penuh penghayatan untuk kuat bertahan dalam setiap takdir yang telah di gariskan.

“Nakk ... yuk siap-siap. Kamu harus di rias, Akad nya akan berlangsung pagi ini dan dilanjutkan dengan resepsi hingga sore tiba” jelas ibu membawa beberapa perias dan peralatan serta gaun di tangan mereka. Aku hanya tersenyum manut mengikuti perintah wanita tersayang ku.

“Buu tapi sebelum itu aku boleh minta satu hal?” tanya ku tulus. Aku sadar, aku benar-benar harus mengikhlaskan segalanya. Allah SWT tak pernah salah untuk setiap takdir terbaiknya.

Ibu mengernyit heran was-was dengan permintaan ku “Boleh saja asalkan jangan macem-macem yah”

“Iya Bu. Bolehkan kalo aku ngga hadir di ruangan akad nanti? Aku nunggu selesai aja dehh yah” pintaku dengan tersenyum konyol.

Ibu berpikir sejenak kemudian mempertimbangkan permintaan ku “Baiklah. Nanti ibu yang bicara dengan mereka. Ibu keluar dulu” putus ibu.

“Makasih Bu” teriakku saat ibu telah hilang dari balik pintu kamar. Paling tidak, aku masih punya sedikit waktu untuk mempersiapkan hati untuk menemui calon suamiku nanti, entah siapa dia dan seperti apa rupanya hingga sekarang aku belum tau dan tak ingin tau lebih tepatnya. Anggap saja dia adalah kado terbaik dari Allah SWT untuk mengobati lukaku.

Iring-iringan semakin jelas terdengar memasuki rumah, hiruk-pikuk tepukan serta sorakan semakin menggelegar terdengar. Yang aku tau, saat ini akadnya tengah berlangsung. Tak terasa setetes air matapun jatuh saat mendengar kata sakral dari luar sana “Sahhhhhh” entah ini tangis bahagia atau tangis apa aku tak tahu. 

“Nak ... Ayo keluar temui suami mu” Ibu menuntun ku keluar menuju ruangan yang begitu ramai dengan kerumunan manusia. Aku tak mengerti mengapa bisa sebanyak ini tamu yang hadir? Apakah temen dari Abang ku? Tapi tak mungkin bukan? Apa urusannya coba?. Temen-temennya aku ngga mungkin bukan se rame ini? Secara kan aku tipe orang yang tak suka terlalu akrab dengan kerumunan manusia. Hahhhh sudahlah. Semua itu hanya menambah-nambah pikiran saja.


“Hei Curut. Selamat yah, happy wedding day. Semoga sakinah mawadah warahmah yah” aku terlonjak mendengar suara yang tak asing lagi di telingaku.

“Bangg Alviannn” spontan saja aku memeluk lelaki yang telah dua tahun belakangan berpisah denganku. Dia adalah sahabat ku dari bocah, siapa lagi kalo buka Alvian Dharmawan sahabat paling the best pokonya. Tapi 2 tahun lalu ia lulus ke universitas di King Saudi hingga entah bagaimana ceritanya kami putus komunikasi sejak itu.

“ehmmm” deheman yang tegas terdengar jelas di telingaku hingga membuatku gemetaran melepaskan pelukanku. Aku baru sadar ternyata aku baru saja menyandang status Baru sebagai Istri seorang ... Seorang? Siapa yah? Seperti apa rupanya? Aku memandang ragu mengamit tangannya untuk ku Salami dan perlahan aku memandang rupa dari suami yang mulai hari ini akan ku cintai dengan sepenuh hati.

Aku kaget tak percaya melihat sosok di depanku. Dia? Hah? Bukannya Dia ...? Semuanya terasa gelap dan seluruh isi kepala ku seakan di aduk-aduk oleh kenyataan baru. Hingga aku jatuh tak sadarkan diri.

****

“euughhh” Mataku terasa silau oleh cahaya. Aku tertegun merasakan riasan ataupun bekas-bekas dari make up pun tak terasa di sekujur tubuhku. Laahhh? Aku mimpi? Hah? Kok terasa nyata sih? Hahhh Bodo amat lah. Aku duduk mengumpulkan seluruh nyawa yang masih bertebaran dimana-mana.

“ehhh dek. Kamu udah bangun? Lama juga yah kamu ngebo nya. Itu pingsan apa tidur sih?” sekujur tubuhku membeku mendengar cekikikan dari seseorang yang baru saja memasuki kamar.

Aku membalik badan dan meyakinkan diriku bahwa ini ini bukanlah mimpi belaka

“Bang Sandi Fransisco? Ngapain disini? Istrinya bang sandi mana?” tanya ku ambigu. aku masih bingung dengan semua ini, bukannya bulan lalu aku dapat undangan pernikahannya? Lalu sekarang? Apa aku di jadiin istri keduanya? Karena seingatku, laki-laki yang berdiri di sebelah penghulu saat itu adalah dirinya yang membuatku kaget setengah mati. 

Mataku mulai berembun membayangkan bagaimana nasibku yang sangat dan terlalu menyedihkan ini? Jadi istri keduanya? Cobaan apalagi ini Tuhan? Aku memang mencintainya tapi tak begini caranya.

“Hei-hei ... Kenapa nangis? Istri mana? Kan kamu istri Abang” Ia mengacak lembut rambutku.

“Istri kedua yah bang?” aku menangis miris membayangkan apa yang akan terjadi kedepannya.

“hahaha ... Bukanlah. Kamu satu-satunya insyaallah” Ia tertawa ngakak menyaksikan kebodohan ku.

“Tapiii ... yang kemaren?” tuntut ku menunggu penjelasannya.

“Jadi ngga kamu baca namanya? Hahahaha” aku terdiam kesal saat dia mencubit pipiku hingga merah. 

“Sakiiiiiit” teriakku.

“Hahaha ... Makanya jangan asal sedih-sedih Mulu, tau kan akibatnya?” ia tertawa puas keluar kamar.

“Oh ya, semua isi Diary kamu udah Abang baca dan Abang taro di perpustakaan pribadi kita. Tulisan kamu Bagus banget hahaha” Aku melotot kaget mendengarnya. 


Darimana diary itu datang? Bukannya udah aku tinggalin? Aku berlari menuju pustaka pribadi di ruangan kecil samping lemari pakaianku. 

“Astaghfirullah” aku benar-benar kaget saat tumpukan buku itu tersusun indah di bagian atas rak-rak buku itu.

****

_“Terimakasih ya Allah atas hadiah terindah mu”_ gumamku bahagia.

Posting Komentar

0 Komentar