Kiprah M. Natsir bagi bangsa dan agama

Gambar Hafidz

Karya: HYDR

Diskursus menyangkut agama dan negara dalam sepanjang sejarah berdirinya suatu bangsa-negara nyatanya hampir tidak pernah selesai. Dalam konteks Indonesia, tarik ulur mengenai dasar negara, khususnya menyangkut sila pertama dalam Piagam Jakarta pernah terjadi polemik yang cukup tajam meskipun persoalan fundamental tersebut dapat diselesaikan dengan jalan ‘konsensus’ antara kelompok nasionalis dan kelompok agamis.

Dalam perkembangan berikutnya, wacana bergeser ke arah perdebatan mengenai posisi Islam dan Pancasila, apakah Pancasila selaras dengan Islam ataukah sebaliknya. M. Natsir adalah cendekiawan muslim sekaligus negarawan yang melakukan telaah kritis mengenai hubungan tersebut. Berbagai pemikiran Natsir dan sekaligus tindakan politiknya memang cukup ‘kontradiktif’ yang pada akhirnya mendapat respon yang beragam pula.

Memperjuangkan amanah dan aspirasi umat

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, Indonesia membutuhkan dasar negara. Melalui proses yang keras dan melibatkan berbagai kepentingan kelompok, pada akhirnya Pancasila disepakati sebagai ideologi dan dasar negara. Proses pencarian dan penemuan Pancasila ini adalah hasil dari perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Kelompok nasionalis Muslim mengajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan kelompok Nasionalis Sekuler tetap ingin mempertahankan Pancasila.

Kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim sama- sama menyepakati Pancasila sebagai falasafah dan dasar negara yang tertuang dalam rumusan Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945, Pancasila versi Soekarno dirumuskan kembali, perbedaannya adalah pada sila pertama yaitu

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk- pemeluknya”. Dari rumusan ini jelas merupakan pengaruh dari kelompok-kelompok muslim karena reformulasinya merefleksikan inti semangat doktrin Islam. Rumusan baru ini sangat memuaskan kaum nasionalis-Muslim karena prinsip ketuhanan diletakkan pada urutan pertama dan diperluas dengan “dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan kalimat seperti ini, umat Islam memperoleh posisi strategis yang memungkinkan mereka menerapkan syariah Islam bagi komunitasnya dalam negara Indonesia merdeka, meskipun mereka harus menerima Pancasila sebagai ideologi negara (Ismail, 1999: 47).

Menjelang pembukaan sidang resmi yang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan perubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, karena dia menerima keberatan yang keras atas kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya”. Dari komunitas Katolik dan Protestan yang hidup di wilayah Timur. Menurut mereka kalimat semacam itu hanya ditetapkan bagi umat Islam, mereka menganggapnya sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Akhirnya tujuh kata tersebut dihapuskan (Ismail, 1999: 56).

Perdebatan yang tajam tentang dasar negara kembali mengemuka dalam forum sidang konstituante. Sebagai lembaga yang dibentuk melalui pemilu 1955, konstituante merupakan lembaga yang dibuat untuk membentuk Undang Undang Dasar. Perdebatan yang dilakukan dalam sidang konstituante begitu terbuka sehingga dapat disaksikan bagaimana pandangan fraksi Islam terhadap Pancasila, demikian pula pandangan fraksi pendukung Pancasila terhadap pendukung Islam sebagai dasar negara.

Fraksi-fraksi pendukung Islam meyakini bahwa Islam merupakan dasar negara yang tepat karena sumber kebenarannya tidak perlu diragukan, sesuai dengan keyakinan mayoritas rakyat Indonesia, serta memiliki prinsip-prinsip dasar yang sesuai dengan demokrasi modern.

Fraksi pendukung Islam awalnya tidak menyetujui Pancasila sebagai dasar negara karena tidak memiliki makna yang jelas dan pasti. Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ternyata dimaknai oleh fraksi PKI sebagai kebebasan untuk tidak beragama (Assidiqie, 2008 :v).

Fraksi-fraksi pendukung Pancasila memberikan argumentasi guna meyakinkan bahwa Pancasila adalah nilai-nilai dasar yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Maka dari itu Pancasila merupakan dasar yang tepat bagi kehidupan berbagsa. Ada semacam kekhawatiran dari fraksi ini yaitu jika Islam dijadikan sebagai dasar negara maka kelompok-kelompok lain tidak akan terlindungi.

Selain itu, mereka juga belum melihat ada negara yang berhasil maju dengan dasar Islam. Bahkan banyak negara-negara Islam saat itu adalah negara dengan sistem monarki (Assidiqie, 2008: vi).

Pancasila dari segi isinya memang multi tafsir. Soekarno pada awal perumusannya menempatkan sila ketuhanan (tanpa ada Yang Maha Esa) pada bagian akhir, Hatta memandang sila ketuhanan (memakai Yang Maha Esa) sebagai sila pokok yang mendasari sila- silai yang lain. Dalam pemikiran Sukarno, permasalahan ketuhanan ia pandang sebagai perkembangan pemikiran dari zaman primitif ke zaman modern, sehingga ia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat tetap. Sedangkan pada Hatta, kemutlakan dan kelanggengan pemikiran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu menonjol, sifat-sifat Tuhan seperti yang diajarkan Islam turut disertakan. Dalam uraiannya tentang Pancasila ia dipengaruhi oleh surat Al-Fatihah (Noer, 1984: 109).

Menurut Prawoto Mangkusasmito, seperti apa yang dikutip oleh Yudi Latif, kubu Islam pun sebenarnya setuju dengan seluruh sila Pancasila. Masalahnya cuma ingin mempertahankan ”tujuh kata” Piagam Jakarta setelah frase ”Ketuhanan yang Maha Esa”. Bagi kubu Islam, hal ini penting untuk memberi tanda bahwa Islam yang sepanjang masa kolonial terus dimarjinalkan mendapat tempat yang layak dalam Indonesia merdeka. Hal ini menjadi lebih penting dihadapkan ancaman PKI yang bermaksud mengubah sila pertama menjadi sila kebebasan beragama/tidak beragama (Yudi Latif, 2008, dalam tempointeraktif.com).

Natsir pernah mengemukakan dua pandangannya tentang Pancasila. Yang pertama, ketika ia di tahun 1952 pergi ke Karachi dimana ia mengkaitkan ajaran Pancasila dengan Quran. Dalam pidatonya tersebut ia menyebut Pancasila sesuai dengan Islam. Sebuah pidato Natsir yang lain, dikemukakan dalam hubungan peringatan Nuzulul Quran di Jakarta tahun 1954 juga menegaskan bahwa Islam tidak mungkin berlawanan dengan Pancasila. Tetapi dalam sidang konstituante ia seakan berbalik, ia melihat Pancasila bisa kosong dari nilai-nilai yang dituntut Islam (atau agama umumnya). Ia seperti juga wakil-wakil Islam lain (seperti NU, PSII), disitu mengunggulkan Islam, dan menolak Pancasila. Ada beberapa sebab menurut Noer, mengapa Natsir berbuat demikian. Pertama, konstituante merupakan forum pembahasan terbuka, forum pembanding pendapat. Sebagaimana anggota lain mengemukakan pemikiran mereka tentang dasar negara secara terbuka dan tuntas, Natsir juga bersikap demikian.

Kedua, ia dan kawan-kawannya dari organisasi Islam ingin mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi umat untuk diperjuangkan.

Ketiga, seperti juga para anggota konstituante, ia dan kawan-kawanya ingin memperkenalkan keagungan keyakinan mereka masing-masing. Ini berarti bahwa Natsir mempergunakan forum konstituante untuk menumbuhkan pengertian terhadap apa yang ia perjuangkan (Noer, 1988: 111).

Natsir dalam pidatonya di depan majelis konstituante menolak Pancasila dijadikan sebagai dasar negara karena merujuk pada pidato presiden Soekarno di Istana Jakarta pada tanggal 17 Juni 1954 di depan rapat gerakan pembela pancasila.

Disini kita dapat mengambil pelajaran bahwa meskipun pancasila yang dijadikan dasar negara, tetapi Islam tetap memiliki posisi yang strategis untuk bebas melakukan peribadatan tanpa diganggu oleh kelompok lain, kemudian sebagai bentuk toleransi karena di Indonesia tak hanya Islam saja yang mendiaminya, tetapi ada kelompok atau agama yang lain seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya.

Antara kehancuran bangsa dan Mosi Integral M. Natsir

Natsir dikenal sebagai seorang negarawan muslim, ulama, intelektual, tokoh pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad ke 20 ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di republik Indonesia seperti Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Menteri Penerangan (1946 – 1948), anggota DPRS dan Perdana menteri (1950 - 1951). Kepercayaan itu disebabkan karena kejujurannya dalam perjuangan. Kejujuran ini pula yang kemudian mengundang seorang indonesianis George Mc.T Kahin berkomentar untuk Mohammad Natsir : “dia (Natsir) adalah seorang yang amat cakap dan penuh dengan kejujuran, jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam republik Anda sudah seharusnya berbicara dengannya”.

Natsir seringkali memiliki pandangan politik yang sangat berlawanan dengan pandangan Sukarno. Meski demikian, ketika revolusi fisik terjadi (Agustus 1945-desember 1949), Natsir berdiri dibelakang dwi tunggal Sukarno Hata. Natsir adalah seorang partisipan yang aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi bersama dwitunggal.

Peranan Natsir menjadi sangat penting terutama menyelamatkan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan, dengan menyerukan persatuan bangsa dan kesatuan negara tanpa memandang suku, agama, dan ras. Hal ini dijalani Natsir dengan mosi integralnya.

Pada pertengahan 1949,- Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan diplomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.

Dalang Bijeenkomst adalah bekas Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook. Resminya, pembentukan Bijeenkomst disebut sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946.

Namun, dengan kelicikannya, Van Mook membiakkan negara bagian yang semestinya cuma terdiri atas Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, menjadi 16 negara bagian.

Negara Borneo dipecah menjadi lima: Dayak Besar, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Borneo Barat, dan Banjar. Republik Indonesia dicabik menjadi sembilan negara bagian : Bengkulu, Beliton, Riau, Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dia menyisakan Republik Indonesia menjadi negara bagian kecil yang hanya memiliki wilayah seluas Kesultanan Yogyakarta.

Bahkan di Sumatera telah antre Jambi dan Tapanuli Selatan untuk menjadi negara bagian sendiri. Van Mook memang sengaja melakukan politik pecah belah. Tujuan akhirnya jelas : untuk meniadakan Republik Indonesia.

Dalam sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, "Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pemerintah Hindia Belanda." Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai, "Negara boneka bikinan Van Mook." Pada 27 Desember 1949 lahirlah Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat wakil presiden merangkap perdana menteri.

Belanda melakukan penyerahan kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru. Siasat Van Mook terbukti tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia-salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Tapi, karena rakyat tak dapat melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia".

Pada 4 Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet, yakni Mr Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program kabinet itu berbunyi: "Melanjutkan perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945."

Pada hari yang sama, negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republik dari berbagai pelosok negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang, misalnya, mencetuskan resolusi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa : lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Disini malah terjadi demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak.

Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen Republik Indonesia Serikat, ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia.

Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem : Partai Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah kanan. Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst.

Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan Republik Indonesia yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompro-mistis. Dia menyarankan semua negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya. Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada 3 April 1950.

Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Natsir menyatakan di dalam mosi integralnya di depan parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) :

”Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan proporsionalisme” (Mahfud, 2008: 190).

Pidato itu ditutup dengan mosi yang intinya: "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini."

Mosi itu ditekan beramai-ramai oleh Subadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Ir Sakirman, K. Werdoyo, Mr A.M. Tambunan, Ngadiman Harjosubroto, Sahetapy Engel, Dr Cokronegoro, Moch. Tauchid, Amelz, dan H Sirajudin Abbas. Mereka mewakili 11 fraksi di parlemen. Sehari sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia.

Mosi Integral Natsir merupakan jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI yang ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tidak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik (Mahfud, 2008:192).

Natsir ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tidak sungkan membentuk kabinet koalisi, melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalis, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR. Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan.

Referensi :

1. Natsir, politik santun diantara dua rezim".
2. Assidiqie, Jimly, (Pengantar), 2008, dalam Pancasila versus Islam, Kusma,ed., Baur Publishing, Jakarta.
3. Effendy, Bahtiar, 2008, Dasar Negara Tak Bisa dipaksakan, dalam tempointeraktif.com
4. Ismail, Faisal, 1999, Ideologi : Hegemoni dan Otoritas Agama, Tiara Wacana,Yogyakarta.
5. Mahfud, M.D., 2008, Mosi Integral Natsir dan Sistem Ketatanegaraan Kita, dalam dalam Seratus Tahun Mohammad Natsir, Lukman Hakim, ed., Republika Jakarta.
6. Natsir, Mohammad., 2004, Islam sebagai Dasar Negara, Sega Arsy, Bandung,
7. Islam sebagai Dasar Negara: Pidato Natsir dalam Sidang Pleno Konstituante pada tanggal 12 November 1957, Pimpinan fraksi Masyumi,
8. Capita Selecta, Pustaka Pendis, Jakarta.
9. Noer, Deliar ,1994, Gerakan Modernisme Islam di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
10. Wahid, Abdurrahman, 1999, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo, Jakarta.

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Balasan
    1. Alhamdulillah.... Semoga menjadi motivasi dan inspirasi bagi kita semua untuk berbakti pada bangsa dan agama ini. Terimakasih atas waktunya yanh telah meluangkan untuk membaca tulisan dari kami semoga bermanfaat

      #Salam Merdeka

      Hapus
  2. Semangat produktif yaa!! Ditunggu karya selanjutnya

    BalasHapus